Antara Judi dan Taruhan
Pertanyaan :
- Assalamualaikum, ustd, mau tanya kalo kalah main game perjanjiannya harus traktir yang menang, boleh ga? sama dengan judi/taruhan tdk? dlm islam gmn? sukron
- Ustadz, saya suka main bola, terus suka taruhan juga dengan teman-teman pemain lain. Yang kalah misalnya mentraktir yang menang. Bolehkah? Sudah termasuk judi?
Jawab :
Jika
uang yang digunakan mentraktir hanya dari pihak yang kalah, sementara
pihak yang menang tidak mengeluarkan uang sama sekali, maka aktivitas di
atas secara syar’i dibolehkan dan tidak termasuk judi.
Sebab
aktivitas di atas termasuk apa yang dalam fiqih disebut ji’alah, yaitu
suatu janji memberikan kompensasi materi (harta) yang tertentu untuk
suatu perbuatan (jasa) tertentu. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu, IV/783). Contoh ji’alah misalkan seseorang mengumumkan
kepada publik,”Barangsiapa dapat mengembalikan ijazahku yang hilang,
saya beri uang Rp 5 juta.”
Ji’alah
sebagaimana boleh ditujukan kepada publik, juga boleh ditujukan untuk
orang atau pihak tertentu (ibid., IV/785). Misalkan seorang bapak
berkata kepada anaknya,”Jika kamu dapat menghapal 1 juz al-Qur`an, kamu
saya beri Rp 1 juta.”
Nah,
aktivitas yang ditanyakan di atas termasuk dalam ji’alah yang ditujukan
kepada pihak tertentu ini. Jadi dalam aktivitas di atas seakan-akan
satu pihak berkata kepada pihak lainnya,”Jika kesebelasan kamu dapat
mengalahkan kesebelasanku, kesebelasanku akan mentraktir
kesebelasanmu.”
Namun
menurut az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu IV/787-788,
ji’alah wajib memenuhi 3 (tiga) syarat. Pertama, pihak-pihak yang
berji’alah wajib memiliki kecakapan bermu’amalah (ahliyyah
al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam
perwalian). Jadi ji’alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak
kecil. Kedua, kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui
jenis dan jumlahnya (ma’lum), di samping tentunya harus halal. Jadi
tidak sah ji’alah yang tidak jelas misalnya, “Barangsiapa dapat
mengembalikan ijazahku yang hilang, saya beri imbalan sepantasnya.” Juga
tidak sah ji’alah dengan imbalan yang haram,”Barangsiapa dapat
mengembalikan SIM-ku yang hilang, saya beri sepuluh botol minuman
keras.” Ketiga, aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas
yang mubah, bukan yang haram. Jadi tidak sah ji’alah dengan
berkata,”Barangsiapa yang dapat menyantet si Fulan, akan saya kasih Rp 5
juta.”
Jika
syarat-syarat ini kita terapkan pada aktivitas yang ditanyakan, maka
ada hal yang masih perlu diperjelas, yaitu traktirnya traktir apa?
Sesuai syarat kedua ji’alah, bentuk kompensasinya harus jelas. Maka
harus diperjelas, apakah traktir makan bakso, atau nasi pecel, atau
pizza, atau yang lainnya.
Dalam
syarat ji’alah yang kedua di atas, dapat dipahami bahwa kompensasi
materi hanya berasal dari satu pihak, bukan dari dua pihak.
Atas dasar itulah itulah, di awal jawaban di atas, pengasuh menyebutkan
syarat bahwa uang yang digunakan untuk mentraktir harus dari satu pihak
(yang kalah), bukan dari dua pihak (yang kalah dan yang menang). Jika
uang yang digunakan mentraktir berasal dari dua pihak, tidak dibolehkan,
karena termasuk dalam judi yang diharamkan
Muhammad Shiddiq al-Jawi
0 komentar:
Posting Komentar
komunikasiKu