Masalah imamah telah lama menjadi salah satu “menu tetap” dalam ajang perdebatan para mutakallimin dari berbagai firqoh (madzhab aqidah) dalam Islam,
terutama antara pihak sunni dan syi’ah. Untuk mempertahankan pendapat
mereka, para pemuka dari masing-masing golongan sering menyediakan bab
tersendiri tentang imamah dalam kitab-kitab aqidah mereka[1]. Para ulama Sunni -yang menganggap imamah
sebagai masalah furu’ (cabang)- merasa ‘terpaksa’ untuk menyelipkan
masalah imamah ini di antara isu-isu aqidah, bukan karena menganggapnya
sebagai bagian dari aqidah, akan tetapi, hanya dalam rangka merespon
beberapa syubhat yang dilontarkan oleh firqoh lain seperti khawarij,
mu’tazilah dan terutama imamiyah, firqoh yang meletakkan imamah ini
sebagai salah satu pilar (rukn) aqidah.[2] Para pakar hukum (fuqaha’) sunni juga meletakkan bab imamah dalam berbagai karya fiqh[3], di samping ada juga kitab-kitab yang secara khusus membahas masalah imamah sebagai sebuah objek kajian fiqhiyah[4].
Di tengah perdebatan yang ada, tak terhitung ulama –baik ahli kalam maupun ahli fiqh- yang menyatakan kewajiban imamah dan nashbul imam (mengangkat imam) dalam kitab-kitab mereka. Sebagai contoh, dalam al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, al-Jazairi menyatakan:
“Para imam (madzhab) rahimahumullah telah sepakat bahwa imamah itu fardhu dan bahwa kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama,…”[5]
Hanya saja, terdapat sebagaian orang yang memiliki kebiasaan menambahkan keterangan berupa kata “(khilafah)” di belakang kata imamah,atau kata “(khalifah)” di belakang kata imam dalam teks-teks seperti di atas, sehingga mereka biasa “mengubah” kutipan seperti itu menjadi:
“Para imam rahimahumullah telah sepakat bahwa imamah (khilafah) itu fardhu dan bahwa kaum muslimin harus memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama,…”
Melihat kebiasaan memberi
sisipan seperti itu, seorang penulis status di FB, Sigit Kamseno
namanya, menganggap pelakunya sebagai pewaris perbuatan umat-umat
terdahulu yang hancur karena kebiasaan menambah kata di dalam tanda
kurung untuk memaknai suatu istilah di dalam kitab-kitab mereka. Masih
menurutnya, tujuan penambahan itu adalah untuk “menggiring persepsi
umat”. Mungkin yang dimaksud semacam melakukan “penyesatan persepsi” (misleading) atau pendistorsian makna ketika menyandingkan kata imam dengan khalifah dan imamah dengan khilafah, karena –sejauh pengetahuan beliau- konsep imam-imamah itu tidak kongruen dengan konsep khalifah-khilafah. Beliau mengatakan:…
“Diantara penyebab kerusakan
ummat terdahulu, Adalah kebiasaan menambah kata di dalam kurung utk
pemaknaan suatu istilah di dalam kitab2 mereka. Tujuannya adalah utk
menggiring persepsi umatnya. Akibat buruk dari kebiasaan ini adalah
distorsi thd makna yg sebenarnya. Ternyata kebiasaan ini mewaris pd
orang2 yg seringkali menambah kata “(khilafah)” setelah kata ‘imamah’,
atau menambah kata “(khalifah)” setelah kata ‘imam’ Seolah konsep imamah
mesti berarti khilafah. Tujuannya sama, menggiring persepsi umat,
Padahal makna dari dua kata tsb tdklah sama.”
Faktanya, hal seperti itu
memang banyak dilakukan. Salah satu contohnya adalah penulis di situs
HTI yang menukil dan menerjemahkan beberapa baris kata dalam al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:
“Umat Islam telah
sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat
bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang
menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan
mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW…”[6] Padahal kata khilafah dalam tanda kurung itu tidak ada dalam teks aslinya.
Hal yang serupa juga dilakukan oleh penerjemah kitab al-Ahkam as-Sulthoniyyah karya Al-Mawardi yang diterbitkan oleh Darul Falah, Jakarta. Dalam buku itu, penerjemah mengimbuhkan keterangan (khalifah) hampir di belakang seluruh kata imam. Terdapat pula kata khilafah yang diberi keterangan(imamah). Sekedar contoh: Pada halaman satu tertulis: “sesungguhnya imam (khalifah) diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia”. Padahal, dalam kitab aslinya, hanya disebutkan kata الإمام(imam), tidak ada keterangan (الخليفة). Pada halaman empat tertulis: “kemudian orang-orang Anshor mengurungkan keinginannya terhadap jabatan khilafah (imamah) dan mundur daripadanya“.[7] Padahal dalam kitab aslinya hanya tertulis khilafah saja.
Bahkan, kita bisa menemukan bahwa sang penerjemah langsung konversikan kata khilafah kedalam kata imamahtanpa keterangan apa pun, dan itu terjadi belasan kali. Sekedar contoh: dalam edisi Arab terdapat frase: “lazima kaaffatal ummah an ya’rifuu ifdhoo’al khilafah ilaa mustahiqqihaa bishifatihi“.[8] Kalimat ini diterjemahkan menjadi, “seluruh umat tanpa kecuali wajib mengetahui sifat-sifat orang yang mendapat amanah imamah (kepemimpinan) ini”.[9] Perhatikan bagaimana kata khilafah diterjemahkan begitu saja menjadi imamahtanpa keterangan.
Lantas benarkah bahwa tindakan
seperti itu merupakan usaha pendistorsian makna yang setara dengan
perbuatan nista kaum-kaum terdahulu yang telah mengutak-atik kitab
mereka? Dan benarkah konsep yang diwakili oleh istilah imamah itu berbeda dengan konsep yang terkandung dalam istilah khilafah? Kita akan berusaha membuktikan bahwa anggapan tersebut sepenuhnya salah, wabillaahit taufiiq
Makna Imam dan Imamah secara Bahasa (lughowi)
Tolak ukur pembahasan kita adalah kata imam dan imamah, sedang yang akan kita hukumi adalah kata khalifah dan khilafah, dari segi apakah ia semakna dengan kata imam dan imamah.
Semuanya kita pelajari sebagai istilah yang dipakai oleh para ulama
sunni dalam karya-karya akidah maupun fiqh mereka, bukan dalam konteks
yang lain. namun sebelumnya, perlu kita ungkap terlebih dahulu makna
bahasa dari istilah tersebut.
Imam dan imamah berakar dari kerja amma (أمّ). Dalam kamus Lisanul ‘Arab dijelaskan bahwa kata kerja amma (أمّ)memiliki makna “mendahului orang lain” atau “menempatkan diri pada posisi di depan orang lain.[10]“. Dalam kalimat misalnya : amma Zaidun al-qouma atau amma Zaidun bilqoumi, kedua bentuk kalimat itu memiliki satu makna, yaitu Zaid menempatkan diri atau berjalan di depan sekelompok orang (taqoddamahum). Keadaan atau hal ihwal dimana Zaid berada di depan suatu kaum inilah yang disebut imamah.[11]Maka dari itu, orang yang berada di depan pada saat sholat berjama’ah disebut imam, iabertindak sebagai orang yang diikuti oleh para ma’mum di belakangnya.[12] Dari sinilah kata imam itu kemudian dimaknai sebagai setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum.[13] Maka, dalam bahasa yang mudah, imam itu bisa kita artikan seagai pemimpin (leader), sedangkan imamah adalah kepemimpinan (leadership).[14]
Adapun kata khalifah dan khilafah
maka keduanya berasal dari kata kerja (fi’l) khalafa – yakhlufu (خلف –
يخلف), yang berarti “menggantikan orang lain untuk menempati kedudukan
yang pernah ia tempati”. Sedangkan khalifah merupakan ism faa’il (sebutan bagi pelaku) dari kata kerja tersebut. Meski kata khalifahberwazan fa’iil namun maknanya adalah faa’il, seperti halnya ‘aliim yang bermakna ‘aalim,
sehingga secara harfiah ia bisa diartikan sebagai “pengganti” alias
orang yang menggantikan kedudukan pendahulunya. Sementara itu kata khilafahadalah mashdar (gerund) alias kata benda yang diturunkan dari kata kerja kholafa tersebut, sehingga secara literal ia bisa diartikan sebagai “proses penggantian” alias suksesi.[15] Orang Arab, sebagaimana dikutip oleh Al-Qolqosyandi- mengatakan : kholafahuu fii qoumihii yakhlufuhuu khilafatan fahuwa kholiifatun [16](ia menggantikan kedudukannya (pendahulunya) di tengah-tengah kaumnya, menggantikannya dengan suatu proses penggantian (khilafah) maka dia adalah seorang pengganti (khalifah)). Ibnu Mandhur menyatakan, “yuqoolu : kholafa fulaanun fulaanan idzaa kaana kholiifatahu. Wa yuqoolu: kholafahuu fii qoumihii khilaafatan”[17](dikatakan bahwa Si A menggantikan si B apabila dia menjadi khalifah-nya. Dan dikatakan: ia menggantikan (kedudukan)-nya di tengah kaumnya dengan sebuah suksesi/khilafah). Singkatnya, khalifahadalah pengganti sedangkan khilafah adalah proses penggantian. Menilik hal tersebut, secara bahasa, keduanya memang tidak layak disandingkan dengan kata imam dan imamah mengingat maknanya yang jauh berbeda.
Mengartikan kata imamah dalam kitab-kitab aqidah dan fiqih hanya secara bahasa merupakan kekeliruan
Nampaknya, bertolak dari makna bahasa di atas, sebagian orang menganggap bahwa konsep imamah dan khilafah itu tidaklah sama. Imamah
menurut mereka hanyalah bermakna kepemimpinan secara umum. Maka ketika
mereka membaca pernyataan para ulama tentang kewajiban mengangkat imam, mereka pun berkata bahwa kewajiban imamah dan nashbul imam itu hanya berarti bahwa umat islam wajib memiliki negara dan kepala negara. Islam tidak menuntut umatnya untuk menyelenggarakan kepemimpinan atau pemerintahan dengan karakter tertentu yang disebut khilafah.
Dengan demikian, menurut mereka, kaum muslimin pada saat sekarang telah
memenuhi kewajiban imiamah ini, karena mereka semua telah memiliki
negara dan juga memiliki pemimpin (imam), entah disebut presiden, raja, sultan atau sebutan apa pun. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa para ulama yang mewajibkan imamah itu sama sekali tidak bermaksud untuk membicarakan masalah khilafah apalagi mewajibkan sistem khilafah tersebut.
Untuk membuktikan kesalahan anggapan tersebut, kami akan berusaha menunjukkan bahwa konsep imamah dan khilafah yang dimaksud oleh para ulama itu adalah sama. Kami akan membuktikannya dari beberapa segi berikut:
- Dari segi redaksi definisi imamah dan khilafah yang digunakan oleh beberapa ulama
- Dari segi konsep kepemimpinan yang dimaksud oleh gelar imam dan khalifah
- Dari segi tugas yang dijalankan oleh pemangku imamah dan khilafah
- Dari segi penggunaan kata imamah dan khilafah oleh para ulama
- Dari segi tokoh sejarah yang mendapat gelar imam dan khalifah
- Dari segi pernyataan para ulama sendiri bahwa imamah sinonim dari istilah khilafah atau bahwa imam sinonim dengan khalifah
- Dari segi sejarah penggunaan gelar imam dan khalifah dalam perdebatan para mutakallimin
Dan Karena yang kita bicarakan
adalah imamah dan khilafah sebagai istilah yang ada di dalam bahasan
para ulama, maka kali ini kita akan lebih banyak mengutip berbagai
ibarat (radaksi) yang mengandung imamah dan khilafah daripada melakukan
uraian.
1. Membandingkan Definisi Imamah dan Khilafah
Definisi Imamah
Para ulama, dalam pembahasan mereka tentang imamah,
telah menggunakan kata tersebut sebagai sebuah istilah dengan makna
yang lebih spesifik dari makna bahasannya. Asy Syaukani menyatakan, “dan
yang dimaksud dengan imamah disini bukanlah makna lughawi
(bahasa) yang mencakup setiap orang yang diikuti dan dicontoh oleh
manusia terlepas dari bagaimana pun sifatnya”.[18] Untuk itu, mari kita tinjau beberapa definisi imamah yang diungkapkan oleh para ulama
Menurut al-Mawardi, imamah
adalah, “yang diposisikan sebagai pengganti kenabian (khilafatun
nubuwwah) dalam hal menjaga agama dan mengelola urusan dunia dengannya
(agama)”[19]
Al-Khathabi mendefinisikan imamah sebagai, “pengganti (khilafah) dan wakil (niyabah) dari Rasulullah saw dalam menegakkan pemerintahan umat setelah beliau (wafat) “.[20]
Al-Iji memilih definisi imamah
sebagai, “pengganti kedudukan Rasul saw. (khilafatur Rasul) dalam hal
menegakkan agama sehingga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul ummah)
untuk mentaatinya”.[21]
Ibnu ‘Abidin mendefinisikannya
sebagai, “kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai
pengganti Nabi saw. (khilafatun nabi saw)”
Al-Juwaini menyatakan, “imamah
adalah kepemimpinan puncak dan paling tinggi baik terkait hal yang
khusus maupun yang umum mengenai kepentingan-kepentingan agama dan
dunia”[22]
At-Taftazani mendefinisikannya
sebagai, “kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai
pengganti Nabi saw (khilafatun nabi).”[23]
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mendefinisikannya sebagai, “kepemimpinan dalam pemerintahan Islam yang menghimpun kemaslahatan agama dan dunia.”[24]
Definisi khilafah
At Taftazani, ditempat lain, mendefinisikan khilafah
sebagai: “pengganti Rasul (niyabatur rasul) untuk menegakkan agama
sehngga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul umam) untuk mentaatinya”.[25]
Menurut Ibnu khaldun, khilafah adalah: ” wakil dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengurusi dunia dengan agama tersebut.”[26]
Abdul Hayyi al-Kattani menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan agung (ri’asah ‘udhma), kekuasaan umum yang komprehensif, yang tegak untuk menjaga agama dan dunia.”[27]
Wahbah az-Zuhaili berkata, ” Khilafah: Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia bagi seluruh kaum muslimin di seluruh daerah.”[28]
An Nabhani menyatakan bahwa khilafah adalah: “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.”[29]
Kesimpulan
Mengacu kepada definisi kedua istilah yang telah kami kemukakan, dapat kita simpulkan bahwa apa yang disebut imamah itu sebenarnya sama dengan apa yang disebut dengan istilah khilafah. Artinya, ia merupakan satu hal yang diungkap dengan sebutan yang berbeda. Alasannya:
- Karena al-Mawardi, al-Khathabi, al-Iji, at-Taftazani dan Ibnu ‘Abidin terang-terangan menyatakan dalam pendefinisian mereka tentang imamah bahwa imamah itu adalah “khilafah nubuwah”, “khilafah nabi” atau “khilafah rasul”.
- Karena ungkapan mereka, baik dalam mendefinisikan imamah maupun khilafah, adalah memiliki pengertian yang dekat. Pada intinya bahwa imamah dan khilafah itu merupakan kepemimpinan bagi seluruh umat islam dalam menegakkan seluruh hukum Islam terkait kehidupan bermasyarakat dan mengurusi urusan dunia dengan Islam.
2. Konsep Kepemimpinan Yang dimaksud oleh imamah dan khilafah
Konsep kepemimpinan Imam
Imamah dalam pembicaraan ulama bukan sembarang kepemimpinan. Imamah
yang mereka maksud adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin
di dunia. Artinya, gelar imam dan lembaga imamah tidak digunakan
kecuali dalam konteks pemerintahan yang tertinggi ini. Maka dari itu
tidak sembarang pemerintahan layak disebut imamah dan tidak semua
pemimpin negara relevan dengan konsep imam yang dibicarakan oleh para
ulama.
Konsep tersebut tergambar dalam definisi yang dikemukakan oleh Al-Iji, bahwa imamah
adalah: “pengganti kedudukan Rasul saw. (khilafatur Rasul) dalam hal
menegakkan agama sehingga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul ummah)
untuk mentaatinya”.[30] Kata kaaffatul ummah menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan imamah tersebut adalah kepemimpinan bagi seluruh umat Islam.
Oleh karena itu, terkait dengan sebuah wilayah yang terpisah jauh dari posisi imam sehingga wilayah itu luput dari jangkauan pemerintahannya, maka Imam al-Haramain berpendapat bahwa umat Islam di
wilayah itu wajib mengangkat seorang pemimpin yang beliau sebut “amir”.
Akan tetapi, amir itu tidaklah setara dengan kedudukan al-imam. Beliau mengatakan:
“jika sebelumnya telah ada akad imamah
kepada orang yang layak, dan kita melihatnya telah memegang akad serta
memiliki otoritas penuh (mustaqillan bin nadhori) di seluruh wilayah
yang ada, kemudian terdapat atau muncul secara tiba-tiba perkara yang
menghalangi perhatiannya (ke sebuah negeri), maka tidak ada alasan untuk
menelantarkan orang-orang yang tidak terjangkau oleh perintah imam.
Tetapi mereka hendaknya mengangkat seorang amir, agar mereka dapat
merujuk kepada pandangannya, bersandar kepada perintahnya, terikat
kepada syari’ah yang dibawa oleh Al Musthofa -saw- dalam segala hal yang
mereka kerjakan dan mereka tinggalkan. Namun kedudukan amir tersebut tidak sama dengan jabatan imam. Maka seandainya berbagai penghalang tersebut telah hilang, dan perhatian imam sudah mampu menjangkau mereka, maka amir dan rakyatnya harus tunduk kepada sang imam seraya menyampaikan salam kepadanya. Sedangkan imam hendaknya menerima udzur mereka lalu mengurusi kepentingan mereka. Apabila dia (imam)
menyetujui orang yang mereka angkat (sebagai amir) maka (keputusan
mereka itu) tetap berlaku, tapi jika dia melihat perlu adanya
penggantian amir, maka keputusannyalah yang diikuti, dan kepadanyalah
(kaum muslimin) merujuk.” Jadi jelas, imam dalam bahasa imam al-Haramain adalah al-imamul a’dham alias pemimpin seluruh umat Islam, bukan pemimpin sebuah negeri semata.
Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika gelar imamah itu diucapkan secara mutlak maka yang dimaksud tiada lain hanyalah orang yang berkuasa memelihara urusan ahlul Islam (al-mutawalli li’umuri ahlil islam”.[31]
Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa jumhur ulama tidak membolehkan keberadaan lebih dari satu imam
bagi kaum muslimin. Bahkan, Ibnu Hazm mengklaim adanya ijma’ salaf
dalam hal ini. Ibnu Hazm berkata dalam Maratibul Ijma’: “dan mereka
(para ulama) bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam bagi kaum muslimin pada satu waktu di seluruh belahan dunia, baik kedua imam itu saling berdamai atau pun bermusuhan, baik keduanya di tempat yang sama maupun di dua tempat yang berbeda.”[32]
Al-Mawardi berkata, “apabila imamah diakadkan kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda maka akad keduanya tidak sah karena umat tidak boleh memiliki dua imam pada satu waktu”.[33] Abu Ya’la menyatakan: “tidak boleh mengakadkan imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda dalam satu masa”.[34]
Senada dengan hal itu, Al-Bazdawi menegaskan “Ahli kiblat secara umum menyatakan: “imamah
tidak boleh diakadkan kepada dua orang, sehingga apabila telah
diakadkan kepada seseorang maka tidak boleh diakadkan kepada orang lain,
dan seandainya terlanjur diakadkan juga kepada orang lain yang menjadi imam adalah yang pertama.”[35]
Dalam al-Bahr ar-Ra’iq dikatakan: “tidak boleh terkumpul dua imam dalam satu zaman”.[36] Sementara itu An Nawawi berkata : “tidak boleh mengangkat dua orang imam pada waktu yang sama meskipun keduanya berada di tempat yang berjauhan”.[37]
Imam al-Haramain
menegaskan bahwa kewajiban untuk menyatukan imamah ini merupakan hukum
yang disepakati. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat ketika di dunia
ini terdapat wilayah darul Islam yang terpencil, tidak terjangkau oleh pemerintahan imam
yang ada. Maka dalam kondisi darurat seperti ini ada ulama –seperti
al-Isfarayini, al-Baghdadi, asy-Syaukani, dll- yang mengharuskan wilayah
terpencil tersebut untuk mengangkat imam sendiri. Namun ada pula ulama
–seperti Imam al-Haramain sendiri- yang mewajibkan penduduk
tempat terpencil itu untuk mengangkat seorang amir, namun amir tersebut
tidak dianggap setara dengan kedudukan imam, seperti yang telah kita kutip sebelumnya.[38]
Konsep kepemimpinan Khalifah
An-Nawawi di dalam Syarh Shahih
Muslim menyatakan: “Para ulama sepakat bahwa (khilafah -pent) tidak
boleh diakadkan kepada dua orang khalifah dalam satu masa, tidak pedui apakah Darul Islam bertambah luas ataupun tidak”.[39]
At Taftazani mendefinisikan khilafah
sebagai: “pengganti Rasul (niyabatur rasul) untuk menegakkan agama
sehngga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul umam) untuk mentaatinya”.[40] Wahbah az-Zuhaili berkata, ” Khilafah: Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia bagi seluruh kaum muslimin di seluruh daerah.”[41]
Al-Katani menegaskan bahwa di dunia ini hanya satu orang yang memiliki kedudukan sebagai khalifah, dia adalah pemimpin tertinggi, bukan sebatas pemimpin bangsanya sendiri. Beliau berkata: “Khilafah
adalah kepemimpinan agung (ri’asah ‘udhma), kekuasaan umum yang
komprehensif, yang tegak untuk menjaga agama dan dunia. Orang yang
mendudukinya disebut khalifah, …Dan dia adalah pemimpin tertinggi
bukan sekedar pemimpin kaumnya saja sehingga tidak seorang pun memiliki
kedudukan yang sama dengannya.”[42]
Kesimpulan
Imamah dan khilafah
adalah istilah yang merujuk kepada fakta yang sama, ditinjau dari segi
bahwa keduanya merupakan sebutan bagi kepemimpinan umum atas seluruh
umat Islam di seluruh dunia.
3. Kesamaan Dari Aspek Tugas Imamah dan Khilafah
Tugas Imamah
Kami menyatakan bahwa kepemimpinan yang dimaksud dengan istilah imamah itu merupakan pemerintahan yang memiliki karakter yang unik, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain. Artinya, imamah itu bukan sembarang kepemimpinan negara. Keunikan itu antara lain terdapat pada tugas utama lembaga imamah sebagaimana tercermin dalam redaksi definisi imamah
yang dipakai oleh al-Mawardi : “pengganti kenabian dalam hal menjaga
agama dan mengelola dunia dengannya (agama tersebut)”. Hal itu dalam
ungkapan al-Iji tersurat melalui frase, “pengganti Rasul dalam
menegakkan agama”. Melihat berbagai fungsi yang termuat dalam definisi
tersebut, Dr. Musthafa Hilmi menyatakan: “definisi imamah menurut Ahlus Sunnah bersumber dari pemikiran mereka tentang tugas imam dari segi kepemimpinannya terhadap kaum muslimin, penerapan pilar-pilar agama dan keterikatannya kepada hukum syara’”.[43] Artinya, imamah
yang dikehendaki di sini adalah negara yang menyatukan agama dan dunia,
menjalankan urusan pemerintahan dengan selalu bersandar kepada agama,
memiliki tugas pokok menerapkan agama dan menjaganya. Artinya, imamah bukanlah negara sekuler yang menjalankan politik tanpa dasar Islam. Dapat dikatakan bahwa tugas politik yang dijalankan imamah ke dalam negaranya adalah menerapkan hukum Islam secara sempurna. Hal tersebut juga terungkap dari rincian beberapa contoh tugas imam yang disebutkan oleh para ulama.
al-Juwaini mencontohkan beberapa tugas imam, beliau berkata: ” imamah
adalah kepemimpinan puncak dan paling tinggi baik terkait hal yang
khusus maupun yang umum mengenai kepentingan-kepentingan agama dan
dunia, yang tugasnya mencakup: menjaga integritas wilayah, mengurusi
rakyat, menegakkan dakwah dengan hujjah dan pedang (jihad -pent),
mencegah penyimpangan dan kejahatan, memberi perlindungan bagi
orang-orang terdzalimi, mengambil hak-hak (harta) dari orang-orang yang
enggan menyerahkannya lalu membagikannya kepada mereka yang berhak”[44]. Perhatikan bagaimana imam itu memiliki tugas pokok untuk menerapkan hukum-hukum agama.
Senada dengan hal itu, Ibnu
Hazm menyatakan: “Seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh
Mu’tazilah, seluruh Syi’ah dan seluruh Khowarij sepakat mengenai
wajibnya imamah, dan (sepakat) bahwa fardhu dan wajib bagi umat untuk tunduk kepada seorang imam
yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, serta
mengurus mereka dengan syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah saw kecuali
golongan Najdat dari khowarij”.[45] Perhatikan bagaimana umat ini sepakat bahwa imam itu diangkat untuk menegakkan hukum-hukum Islam dan mengatur masyarakat dengan hukum Islam.
Abdul Qahir al-Baghdadi menulis, “bahwasannya kaum muslimin harus memiliki seorang imam
yang menerapkan hukum-hukum mereka menegakkan hudud mereka, mengerahkan
pasukan mereka, menikahkan mereka yang tidak punya wali serta
mendistribusikan fai’ di antara mereka.”[46]
Ibnu Jama’ah berkata, “Wajib hukumnya mengangkat imam
yang bertugas untuk menjaga agama dan mengurusi kepentingan kaum
muslimin, mencegah perbuatan orang-orang yang melampaui batas, memberi
keadilan kepada orang-orang yang terdzalimi, mengambil hak-hak dari
tempat-tempatnya dan meletakkannya ditempatnya pula, baik dalam
pengumpulannya maupun pengalokasiannya.”[47]
An Nasafi menyatakan: “Kaum muslimin harus memiliki imam
yang bertugas untuk menerapkan hukum-hukum mereka, menegakkan aturan
hudud mereka, menjaga perbatasan mereka, mengerahkan bala-tentara
mereka, mengambil zakat mereka, menundukkan para perampas, pencuri dan
pembegal jalanan, melaksanakan shalat jum’at dan hari-hari raya,
menyelesaikan persengketaan dan perkelahian di antara manusia, menerima
persaksian demi menegakkan hak, menikahkan orang yang tidak punya wali,
membagikan ghonimah serta perkara-perkara semisal yang tidak bisa
ditangani oleh perorangan”.[48]
An Nawawi menyatakan, “Umat harus memiliki seorang imam
yang menegakkan agama, membela sunnah, memberi keadilan kepada orang
yang terdzalimi, mengambil hak-hak (harta) kemudian meletakkannya di
tempat yang benar”.[49] Sekali lagi, di sini terdapat penekanan terhadap tugas menegakkan hukum Islam.
Ibnu Hajar al-Haitsami menyatakan: “Salah satu aspek yang menunjukkan perintah wajibnya imamah
adalah bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk menegakkan hudud,
menjaga perbatasan, menyiapkan pasukkan untuk berjihad serta menjaga
wilayah kekuasaan Islam.”[50] Sementara itu at-Taftazani menyatakan: “bahwasannya terdapat kewajiban yang tidak bisa disempurnakan tanpa imamah itu, seperti menegakkan sanksi hudud, mengamankan perbatasan, dan semisalnya yang terkait dengan penjagaan sistem.”[51] Dalam dua kutipan terakhir ini, tugas untuk menerapkan hukum Islam bukan hanya menjadi kewajiban imam, bahkan menjadi alasan yang membuatnya menjadi wajib.
Bahkan al-Juwaini
menyebutkan tugas yang sangat unik, yakni “menegakkan dakwah dengan
hujjah dan pedang”. Ungkapan ini sebenarnya senada dengan ungkapan
an-Nasafi dan al-Haitsami, ” menyiapkan pasukkan untuk berjihad”, begitu
juga dengan ungkapan al-Baghdadi, “mengerahkan pasukan mereka”. sebab
“jihad thalabi” hanya dibenarkan jika dilakukan untuk kepentingan
penyebaran islam.[52] Al-Qurthubi dalam tafsirnya (at-Taubah ayat 41) menyatakan: “fardhu pula bagi al-imam
untuk mengerahkan pasukan menuju musuh setiap tahun sekali. Dia bisa
ikut bersama mereka atau mengirim orang yang dia percaya untuk menyeru
musuh kepada Islam menarik
hati mereka, menyingkirkan penghalang-penghalang mereka, memenangkan
agama Allah atas mereka, sampai mereka mau masuk ke dalam islam atau membayar jizyah dengan tangan mereka”.[53] Tugas ini memberi gambaran kepada kita tentang karakter politik luar negeri yang dijalankan oleh Imam, yakni menjadikan negara sebagai pengemban misi dakwah islam melalui penyampaian hujjah dan pelaksanaan jihad.[54]
Inilah yang menjadi tugas imamah. Semua contoh tugas tadi menurut kami dapat diperas menjadi dua, yakni: menerapkan hukum islam di dalam negara dan menyebarkan islam ke seluruh penjuru bumi melalui dakwah dan jihad.
Tugas Khilafah
Adapun terkait dengan tugas khilafah,
maka Syah Waliyullah ad-Dahlawi mengatakan, “Ketauhilah bahwa wajib
bagi jama’ah kaum muslimin untuk memiliki seorang kholifah, untuk
merealisasikan kemaslahatan yang tidak mungkin dapat sempurna kecuali
dengan keberadaannya. Kemaslahatan tersebut banyak sekali, akan tetapi
bisa dikategorikan menjadi dua jenis. Yang pertama: kemaslahatan yang
kembali kepada pengaturan kepentingan kemasyarakatan, seperti menahan
bala pasukan yang hendak memerangi dan mengalahkan mereka, mencegah
kedzaliman, memecahkan persengketaan, dan lain-lain… Yang kedua: yang
kembali kepada agama (millah). Contohnya melindungi agama Islam dari seluruh agama yang ada, hal itu tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan adanya seorang khalifah di tengah-tengah umat islam yang
akan memberikan pengingkaran yang keras terhadap orang-orang yang
keluar dari agama, melakukan perkara yang telah dinashkan keharamannya
atau meninggalkan hal-hal yang telah dinashkan kewajibannya. Menundukkan
seluruh pemeluk agama selain islam, mengambil jizyah dari tangan mereka sedang mereka dalam keadaan kecil (tunduk -pent),…[55]
Sa’id hawa menyatakan[56]: dan sistem khilafah
ini berbeda dengan sistem pemerintahan manapun di dunia. Meskipun
terdapat beberapa bagiannya yang menyerupai bagian sistem-sistem yang
lain, akan tetapi, secara keseluruhan, di antara keduanya terdapat
perbedaan yang substansial… Sistem khilafah hakekatnya merupakan wakil dari kenabian. Maka dari itu, urgensi khalifah adalah mewarisi tugas-tugas kenabian[57] dalam hal penegakkan hukum-hukumnya, sebagai contoh:
- Allah Ta’ala telah menyebutkan pentingnya Rasul saw. (sebagaimana kami telah mengutus seorang rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat kami kepada kalian, mensucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian kitab dan hikmah [T.Q.S. Al-Baqarah ayat 151]) maka tugas khalifah adalah mengajarkan kitab dan sunnah kepada masyarakat dan mendidi masyarakat berdasarkan keduanya.
- Allah Azza wa Jalla menyatakan (dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan ketundukkan (ad-din) itu sepenuhnya bagi Allah[T.Q.S. Al-Anfal ayat 39]), dengan demikian, tugas para rasul adalah menundukkan umat manusia kepada kekuasaan Allah, sementara urgensi peran para khalifah adalah menyempurnakan usaha Rasul saw dalam hal tersebut sesuai kemampuan yang dimiliki.
- Tugas rasul adalah: menegakkan keadilan dan menerapkan hukum Allah: (telah diwajibkan atas kalian qishash [T.Q.S. Al-Baqarah ayat 178]), (sebuah surat yang kami turunkan dan kami wajibkan [T.Q.S. An-Nur ayat 1]) maka tugas para khalifah pun demikian pula. Ringkasnya, sistem khilafah merupakan pengganti kenabian dalam menegakkan syariat Allah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata, “dan khilafah itu adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, dengan afkar yang dibawa oleh Islam dan hukum-hukum yang disyariatkan oleh Islam, serta untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan mengenalkan Islam kepada mereka dan menyeru mereka kepada Islam, serta dengan jihad fi sabilillah.”[58]
Kesimpulan
Dari kutipan-kutipan di atas, ada dua hal yang bisa ditarik: satu, kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa imamah itu bukan sekedar kepemimpinan negara secara mutlak, imamah adalah kepemimpinan dengan pengertian khusus, yaitu kepemimpinan dirancang untuk menjalankan fungsi penerapkan dan penyebaran islam. Misi sebagai institusi penegak syariah islam ini sangat esensial dalam imamah. Dengan demikian, negara yang tidak dirancang untuk menjalankan urusan pemerintahannya dengan islam, tidak dirancang untuk menerapkan Islam dan menjaganya, serta tidak dirancang untuk menebarkan Islam lewat penyampaian hujjah dan jihad, maka ia tidak bisa dianggap sebagai imamah yang sah dalam Islam.
Yang kedua, ditinjau dari fungsinya, ternyata imamah sama dengan khilafah, yakni menegakkan hukum-hukum agama Allah, menyebarkannya dan mengelola urusan dunia dengan syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa kedua istilah tersebut sebenarnya merujuk kepada satu konsep, artinya, khilafah adalah imamah dan imamah adalah khilafah.
4. Tinjauan dari segi cara penggunaan kata imamah dan khilafah oleh para ulama
Telah coba kami buktikan sebelumnya bahwa, sebagai istilah yang digunakan oleh para mutakallimin dan fuqaha, khilafah itu semakna dengan imamah sementara khalifah itu semakna dengan imam
dalam konteks yang mereka bicarakan. Satu hal yang menambah keyakinan
kami akan hal tersebut adalah kenyataan bahwa dua istilah ini seringkali
dipakai oleh para ulama secara bergantian seolah keduanya bisa saling
menggantikan begitu saja. Sebagai contoh kami kutipkan beberapa teks
berikut:
Dalam kitab al-fiqhul akbar disebutkan bahwa Asy-Syafi’i menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa imam yang haq setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar ra, dalilnya adalah ijma’ shohabat terhadap imamah beliau dan kepatuhan mereka kepada beliau, serta kesepakatan mereka mengenai khilafah dalam percakapan mereka, sehingga secara ijma’ mereka memanggil (Abu Bakar) “wahai Khalifah Rasulullah”.[59] Perhatikan bagaimana imam atau pemangku imamah yang pertama, Abu Bakar ra, di sini disebut dengan gelar khalifah dan imamahnya disebut khilafah.
Al-Mawardi menyatakan: “Adapun
pengangkatannya melalui pemilihan ahlul halli wal ‘aqd maka dalam hal
ini para ulama berselisih mengenai jumlah minimal orang yang akad imamah
mereka bisa dianggap sah kedalam beberapa pendapat yang berbeda.
Sebagian dari mereka mengatakan: akad tidak sah kecuali dilaksanakan
oleh mayoritas ahlul halli dari seluruh negeri agar kerelaan terhadap
akad tersebut terwujud secara umum dan penerimaan terhadap imamahnya dapat disepakati. Pendapat ini tertolak oleh sejarah pembaiatan Abu Bakar ra atas khilafah yang terwujud dengan pemilihan sekelompok orang yang menghadirinya saja tanpa menunggu orang-orang yang tidak menghadirinya”.[60] Perhatikan bagaimana Al-Mawardi sering mengganti imamah dengan khilafah. Penggunaan istilah yang tidak konsisten ini terjadi di banyak tempat dalam al-Ahkamus Sulthaniyah.
Al-Juwaini berkata: “Seandainya pemberi wasiat berkata: “imam setelahku adalah fulan, kemudian imamah setelahnya adalah untuk fulan, kemudian imamah setelahnya adalah untuk fulan” maka dengan demikian khilafah diurutkan untuk orang-orang tertentu tersebut yang telah dilimpahi imamah pasca kematiannya”.[61] Terlepas dari pro/kontra metode pewarisan imamah, yang jelas, al-Juwaini dalam kutipan di atas telah menggunakan imamah dan khilafah secara bergantian dengan maksud yang sama.
Al-Qalqasyandi berkata: “Pembahasan tentang cara yang digunakan untuk menyempurnakan akad khilafah.
Dalam hal ini terdapat tiga cara. … Cara yang pertama adalah bai’at,
ini dilakukan dengan berkumpulnya ahlul halli wal ‘aqdi yang ia dipilih
kemudian mereka mengakadkan imamah kepada orang yang memenuhi persyaratannya”.[62]
Ar-Razi mengatakan, “Bahwa imam
yang haq (sah) setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar,… Dalil yang
mendukung kebenaran pendapat kami ada beberapa segi. Pertama: telah
terbukti secara mutawatir bahwa Ali ra tidak memerangi Abu Bakar demi
menuntut khilafah. Seandainya benar imamah Abu Bakar itu tidak sah niscaya Ali akan memeranginya sebagaimana beliau memerangi Mu’awiyah ketika Mu’awiyah mengincar khilafah.”[63]
Kesimpulan
Kenyataannya kita dapat menemukan para ulama yang menggunakan istilah imamah dan khilafah
secara bergantian atau saling menggantikan. Ini tidak mungkin dilakukan
kecuali jika mereka menganggap bahwa istilah khilafah memuat konsep
yang sama dengan istilah imamah.
5. Dari segi tokoh sejarah yang mendapat gelar imam dan khalifah
Pernyataan Ulama Tentang Imam setelah Rasulullah saw
Para ulama suni menyatakan bahwa imam yang memangku imamah setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
Al-Baqilani dalam al-Inshaf menyatakan: “wajib untuk diketahui bahwa imam
kaum muslimin dan amirul mu’minin yang lebih utama dari seluruh makhluq
dari kalangan Anshar dan Muhajirin setelah para nabi dan rasul adalah
Abu Bakar ash-Shiddiq ra.”.[64]
Ar-Razi menunturkan, “Bahwa
imam yang haq (sah) setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar, kemudian
Umar kemudian ‘Utsman kemudian Ali”.[65]
Al-Baidhawi menyatakan, “Bahwa imam yang haq (sah) setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar, kemudian Umar kemudian ‘Utsman kemudian Ali”.[66]
Pernyataan Ulama Tentang Khalifah setelah Rasulullah saw
Namun, para ulama juga menyatakan bahwa para khalifah setelah rasulullah saw wafat adalah Abu Bakar kemudian Umar lalu ‘Utsman dan kemudian Ali.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berpendapat bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq adalah Khalifah Nabi saw setelah
kewafatan beliau dalam urusan menerapkan hukum, mencegah kadzaliman
orang-orang dzalim, memberi keadilan kepada orang yang terdzalimi dan
penyampaian hukum, bukan dalam hal menerima risalah, dan beliau adalah khalifah yang haq/sah.[67]
At-Taftazani menyatakan, “Khilafah setelah Rasulullah saw dipegang oleh Abu Bakar kemudian Umar setelah itu ‘Utsman lalu Ali –ra-”.[68]
Abdul Hayyi al-Kattani menyatakan, “Khalifah pertama yang diangkat dengan benar dan menurut bentuknya yang benar di dunia ini adalah khalifah Abu Bakar ra.”.[69]
Kesimpulan
Dari kutipan tersebut kita bisa menilai bahwa tokoh sejarah yang disebut oleh ulama sebagai imam itu ternyata sama dengan tokoh yang mereka sebut dengan gelar khalifah. Itu artinya imam adalah khalifah dan khalifah itu adalah imam itu sendiri.
6. Dari sisi pernyataan para ulama bahwa Imamah dan Khilafah atau imam dan khalifah adalah sinonim
Banyak sekali ulama yang menyatakan bahwa imamah dan khilafah atau imam dan khalifah itu sinonim alias merujuk pada satu konsep yang sama. Kami sebutkan beberapa saja di antara mereka.
An-Nawawi berkata, “boleh memanggil imam dengan sebutan: khalifah, imam dan amirul mu’minin“.[70]
An Nasafi menyatakan, “maka kita tidak boleh melewatkan satu hari sementara tidak “melihat” keberadaan seorang imam yang memimpin kita, dan dia adalah seorang khalifah“.[71]
Ibnu Khaldun menulis, “Kami
telah menjelaskan hakekat dari lembaga ini, bahwasannya ia adalah wakil
dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengurusi dunia dengan
agama tersebut, dinamakan khilafah atau imamah, dan orang yang menjabatnya disebut khalifah atau imam. Adapun alasan kenapa dinamakan imam, itu karena ia menyerupai imam dalam sholat, dalam hal diikuti dan dicontoh, oleh karena itu, disebut juga al-imamah al-kubro. Adapun alasan penamaannya dengan khalifah, maka itu karena posisinya sebagai pengganti Nabi bagi umatnya. Maka dikatakan: khalifah (pengganti) begitu saja atau kholifatu Rasulillah (pengganti Rasulullah)”.[72]
Dalam kitab Bada’i'us Suluk dinyatakan, “mengenai hakekat khilafah. Masalah pertama yang diketengahkan adalah pembahasan yang menunjukkan bahwa apa yang dimaksud dengan khilafah dan imamah
adalah kembali kepada konsep perwakilan asy-Syari’ dalam menjaga agama
dan mengurusi urusan dunia,…, dan yang mereka maksudkan ketika menyebut
kata imamah sesungguhnya adalah khilafah“.[73]
Rasyid Ridha menyatakan: al-khilafah, al-imamah al-’udhma dan imaratul mu’minin adalah tiga kata yang memiliki satu makna”.[74]
Abdul Wahhab Khalaf menyatakan, “al-Imamah al-kubra, al-khilafah
dan imaratul mu’minin merupakan kata-kata yang bersinonim merujuk
kepada makna yang sama. Ulama menggambarkannya sebagai kepemimpinan umum
dalam agama dan dunia, pilarnya adalah kemaslahatan dan pengaturan
urusan ummat, menjaga agama dan pengurusan masalah dunia”.[75]
Abdul Hayyi al-Kattani mengatakan, “Orang yang mendudukinya disebut khalifah, karena dia menjadi pengganti Rasulullah saw, dan disebut juga sebagai imam
dikarenakan kepemimpinan sholat dan pelaksanaan khutbah melekat
kepadanya baik pada masa Rasulullah saw. maupun masa al-khulafa’ur
rasyidin, orang lain tidak berhak melaksanakannya kecuali dalam
kapasitas sebagai wakilnya. Dan ia juga disebut dengan amirul mu’minin”[76]
Dr. Abdul Qadir ‘Audah menyatakan, “al-imamah atau al-khilafah –sebagai mana pendapat para fuqaha’- merupakan akad yang tidak dianggap sah kecuali atas dasar kerelaan dan pilihan”[77]
Prof. Abu Zahroh menulis, “Madzhab-madzhab politik semuanya berporos pada masalah khilafah, yaitu al-imamah al-kubra. Dinamakan khilafah
karena orang yang menduduki jabatannya bertindak sebagai penguasa
tertinggi bagi kaum muslimin, menggantikan Nabi saw dalam masalah
mengatur urusan kaum muslimin. Dinamakan juga sebagai al-Imamah karena khalifah pada waktu lalu disebut imam, dikarenakan
taat kepadanya adalah wajib, karena orang-orang berjalan di belakangnya
layaknya mereka mengerjakan shalat dibelakang orang yang mengimami
mereka dalam shalat tersebut”.[78]
Prof. Wahbah az-Zuhaili menyatakan, “Al-imamah al ‘udhma, khilafah
atau imarotul mu’minin semuanya memerankan arti yang sama dan
menunjukkan pengertian sebuah fungsi yaitu kekuasaan pemerintahan
tertinggi.”[79]
Dr. Dhiya’uddin Rais berkata: “Dengan demikian, inilah ketiga gelar yang digunakan untuk menyebut kepala negara dalam islam.
Sekalipun setiap gelar berbeda dalam hal sebab kemunculan dan latar
belakang yang menghubungkannya namun, pada akhirnya, semuanya menunjuk
kepada orang yang sama dan mengindikasikan makna yang sama pula, serta
menunjuk kepada orang yang duduk pada jabatan tertentu. Tidak ada
salahnya, umpamanya, Al-Ma’mun mengukir nama “al-imam” di
atas uang dirham yang dia keluarkannya dan pada saat yang sama dia
disapa dengan “amirul mu’minin” dan dipanggil dengan panggilan “khalifah“.[80]
Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan, “dan khilafah disebut juga sebagai al-imamah dan imaratul mu’minin”.[81]
7. Aspek Sejarah Penggunaan Gelar Imam dan Khalifah
Dalam poin-poin
sebelumnya telah jelas bahwa yang digelari al-imam dan al-khalifah itu
sama, yakni amirul mu’minin atau dalam bahawa al-Kattani adalah pemimpin
umat Islam yang tertinggi. Secara etimologis, kedua istilah ini memang memiliki kaitan erat dengan pemimpin umat yang bertugas melindungi Islam dan mengurus urusan dunia dengan islam itu.
Gelar yang dahulu populer
adalah khalifah, kepemimpinannya disebut khilafah. Dinamakan demikian
–sebagaimana penjelasan Ibnu Khaldun di depan- karena secara etimologis,
khalifah adalah pengganti, dan dia adalah pengganti kedudukan Nabi saw
dalam memimpin umatnya. Gelar ini telah disebut oleh Nabi saw dalam
beberapa hadits, seperti “sayakunu khulafa’u fa yaktsuruun” (dan akan
ada para khalifah dan jumlah mereka banyak) (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan gelar yang kedua, yakni al-Imam, lebih populer belakangan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khaaldun, pemimpin umat Islam dinamakan
al-imam karena ia merupakan orang yang memimpin dan wajib ditaati oleh
seluruh umat, seperti halnya orang yang mengimami kaumnya dalam shalat.
Gelar ini pernah diucapkan oleh Nabi saw dalam beberapa hadits,
contohnya, “man baya’a imaman fa-a’thahu shafqata yadihi” (barang siapa
membai’at seorang imam maka hendaklah ia memberikannya uluran tangannya)
(HR.Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad )
Kami katakan bahwa
penggunaan gelar khalifah lebih awal populer sebelum gelar imam. Karena
sejak awal, Abu Bakar dipanggil dengan gelar khalifah. Al-Qalqasyandi
menyatakan: “Sudah menjadi tradisi yang tersiar sejak awal masa Islam (maksudnya
era shohabat –pent) dan berlanjut terus setelahnya, penyebutan nama
khalifah diperuntukkan bagi setiap orang yang memegang pemerintahan kaum
muslimin”.[82]
Terkait dengan gelar imam,
al-Qalqasyandi menyatakan: “Ini adalah gelar yang baru disematkan kepada
para khalifah pada masa Daulah Abbasiyah di Irak. Asal dari gelar ini
adalah bahwasannya kaum Syi’ah menyebut orang yang menduduki jabatan
mereka (khalifah) dengan sebutan imam. Ditinjau juga dari segi bahwa
kata imam dalam Bahasa Arab maknanya adalah orang yang diikuti/dicontoh.
Sementara, mereka (Syi’ah) adalah orang-orang yang mencontoh/mengikuti
imam-imam mereka, mereka (syi’ah) mencontoh (para imam) baik dalam
perkataan-perkataan mereka maupun perbuatan-perbuatan mereka, karena
menurut keyakinan mereka imam-imam itu ma’shum. Dan adalah Ibrahim bin
Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas menggelari dirinya dengan
sebutan al-Imam ketika dia mengambil bai’at untuk khilafah. Ini menjadi
tradisi yang berlanjut pada para kholifah Bani ‘Abbas sampai hari ini”.[83]
Adapun mengenai bahwa gelar
imam yang dikatakan lebih banyak berasal dari tradisi syi’ah, maka
menurut beberapa peneliti, hal itu karena mereka membedakan antara imam
dan khalifah. Menurut mereka imam, yang diangkat oleh Allah itu adalah
orang ma’shum dan merupakan satu-satunya manusia pilihan Allah di
masanya yang berhak menjadi khalifah. Hanya saja, adakalanya imam ini
benar-benar menjadi khalifah, seperti Ali ra, namun adakalanya ia tidak
berhasil menjadi khalifah, seperti Husain ra.. Kemudian mereka
menjadikan isu imamah ini sebagai rukun aqidah.
Sementara di sisi lain,
pihak Ahlus Sunnah berpendapat bahwa Allah tidak mengangkat/menunjuk
khalifah, menurut mereka khalifah diangkat oleh umat Islam.
Ahlus Sunnah tidak menjadikan kewajiban mengangkat khalifah ini sebagai
bagian dari aqidah. Maka munculah perdebatan di antara mereka seputar:
apakah mengangkat imam itu tugas Allah ataukah tugas manusia? apakah
imam harus ma’shum? imam yang haq setelah Nabi saw itu apakah Abu Bakar,
Ali ataukah Abbas? apakah imam harus dari keturunan Ali dan Fathimah
ra? apakah imam harus ada ditengah umat secara dhahir atau boleh ghaib?
apakah boleh mengangkat imam yang kurang utama sementara ada orang yang
lebih utama? dll. Dari sinilah istilah imamah menjadi populer sebagai
suatu isu dalam perdebatan antar firqah. Ia menjadi bahasan tersendiri
dalam kitab-kitab ilmu kalam baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah.[84]
Kesimpulan Umum Mengenai Imamah dan Khilafah
Berdasarkan telaah kami di atas, maka kami sangat percaya bahwa yang dimaksud oleh para ulama dengan istilah imamah adalah khilafah itu sendiri. Dalam konteks bab Imamah yang ada berbagai kitab, kata imamah
di sana tidak boleh diartikan secara etimologis, sebab secara
konvensional para ulama telah menggunakan kata tersebut sebagai istilah
dengan pengertian khusus, yakni khalifah. Bahkan, menurut Asy-Syaukani,
istilah tersebut telah digunakan oleh Rasulullah saw.. Asy-Syaukani
tatkala menjelaskan hadits “ a’immatu min Quraisy “, menyatakan, “makna imamah -sebagai istilah syar’i- semakna dengan khilafah,.. dan yang dimaksud dengan imamah
di sini bukanlah makna lughawi (etimologis) yang mencakup setiap orang
yang diikuti dan dicontoh oleh manusia terlepas dari bagaimana pun
sifatnya”.[85]
Oleh karenanya,pernyataan
al-Ghazali bahwa, “kewajiban mengangkat imam (nashbul imam) merupakan
urgensi yang dituntut oleh syara’ yang tidak ada celah untuk
mengabaikannya, maka ketahuilah hal tersebut”[86]
itu tidak memiliki makna yang berbeda dengan perkataan ad-Dahlawi,
“Ketauhilah bahwa wajib bagi jama’ah kaum muslimin untuk memiliki
seorang kholifah”[87].
Dan pernyataan adz-Dzahabi bahwa, “ahlus sunnah, mu’tazilah, khawarij
dan syi’ah telah menyepakati kewajiban imamah dan bahwa wajib bagi ummat
untuk tunduk kepada seorang imam yang adil”[88]
tidak berbeda makna dengan perkataan al-‘aini, “mereka sepakat bahwa
wajib untuk mengangkat seorang khalifah (nashbu khalifatin) dan
bahwasannya kewajiban itu ditetapkan oleh syara’”[89].
Maka, tidak heran jika Al-Khabazi menyatakan, “Imamah dan khilafah
setelah Rasulullah saw adalah haq (kewaijban -pent) berdasarkan Kitab,
Sunnah, Ijma’ dan ma’qul”.[90]
Dengan demikian, memberi
keterangan (khalifah) di belakang kata imam, atau (khilafah) di belakang
kata imamah merupakan langkah tepat guna menghindari kesalah-pahaman
dengan memaknai kedua istilah tersebut secara lughawi semata. Apalagi
kebanyakan umat Islam hari
ini telah terasing dari warisan tsaqafah mereka. Maka jelas, penambahan
keterangan ini bukan usaha untuk mendistorsi makna, tapi justru usaha
untuk memelihara pengertian istilahnya.
Sebaliknya, mereka yang mendakwakan bahwa imamah itu bukan khilafah, maka kemungkinannya ada dua, pertama:
tidak berusaha memahai penggunaan istilah tersebut secara seksama di
dalam kitab-kitab para ulama sehingga mereka tidak tahu kalau yang
mereka maksud dengan imamah itu sebenarnya adalah khilafah, atau mungkin yang kedua: sengaja melakukan distorsi makna, untuk menggiring persepsi umat, agar mereka tidak memahami kewajiban khilafah dari pernyataan para ulama tentang kewajiban nashbul imam dan imamah. Tapi bisa saja ada kemungkinan yang lain. Wallahu a’lam. (titok priastomo, Jogja, 30 Okt 2012)
0 komentar:
Posting Komentar
komunikasiKu