diarymuslim Intelektual Mahasiswa LDK FKUI KamPusKu

dakwah islam

Jumat, 09 November 2012

PARADIGMA SISTEM EKONOMI ISLAM


PARADIGMA SISTEM EKONOMI ISLAM


PENGANTAR

Sistem ekonomi Islam adalah sebuah pemahaman akan ekonomi yang berangkat dari pandangan ideologi Islam. Artinya, sistem ekonomi Islam berangkat dari pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan; apa-apa yang ada sebelum kehidupan dunia (Al Khaliq); apa-apa yang ada setelah kehidupan dunia (al akhirah); serta keterkaitan ketiganya. Pemikiran seperti inilah yang mampu menjawab persoalan mendasar manusia, yaitu: darimana saya berasal? Untuk apa saya hidup di dunia? dan kemana saya setelah mati? Dengan pemikiran menyeluruh di atas, maka pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut akan bisa dijawab. Jika pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut bisa dijawab, maka pertanyaan cabangnya juga tentu akan bisa dijawab. Misalnya: apa hukum mencari nafkah? Bagaimana caranya mencari nafkah? Apa hukum mencari nafkah dengan cara begini dan apa hukum mencari nafkah dengan cara begitu? Apa hukum memiliki benda ini dan apa hukum memiliki benda itu? Bagaimana manusia harus memenuhi kebutuhannya, dan bagaimana manusia harus membelanjakan hartanya? Semua ini niscaya akan bisa dijawab, jika berbagai pertanyaan mendasar di atas bisa dijawab dan diaplikasikan dengan baik.

PARADIGMA ISLAM SECARA UMUM

Berbicara soal paradigma Islam, sama artinya dengan berbicara soal akidah Islam. Sebagaimana di atas, yang dimaksud akidah Islam adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan; apa-apa yang ada sebelum kehidupan dunia (Al Khaliq); apa-apa yang ada setelah kehidupan dunia (al akhirah); serta keterkaitan ketiganya.

Ada sebagian kalangan menilai bahwa pemahaman ini adalah pemahaman bid’ah, yang tidak ada dasarnya sebelumnya. Atau, pemahaman ini dinilai sebagai pemahaman yang mengagung-agungkan akal, sebab hanya diperoleh dari akal (pemikiran) dan tidak ada dasarnya sedikit pun, termasuk pandangan para ulama terdahulu (salaf) tentang hal ini. Sebenarnya, pendapat tersebut salah besar. Jika dikatakan bahwa pemahaman tentang akidah ini dinilai sebagai pemahaman yang tidak ada dasarnya, itu merupakan suatu pemahaman yang salah dan tidak jeli dalam memahami fakta dalil.

Islam bicara soal manusia, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…” (QS. An Nisa: 1)

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun: 14)

Islam bicara soal alam semesta dan kehidupan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah: 164)

Islam bicara tentang, apa-apa yang ada sebelum kehidupan dunia (konsep Sang Pencipta), “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi….” (QS. Fathir: 1)

Islam bicara soal akhirat (surga dan neraka), “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Qashash: 83)

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa hubungan antara kehidupan manusia di dunia dengan di akhirat itu seperti apa. Yaitu bahwa jika manusia bertakwa maka dia akan mendapatkan pahala dan bagi orang yang berbuat kejahatan (jariimah) maka baginya adalah dosa; sebagaimana dijelaskan dalam ayat selanjutnya, “Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al Qashash: 84)

Islam juga bicara tentang keterkaitan antara manusia dengan Tuhannya (Allah), yaitu bahwa selain Allah menciptakan manusia, Allah juga memberikan syariat untuk manusia. Allah berfirman, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al Jatsiyah: 18)

Jadi, pemahaman tentang akidah Islam (paradigma Islam) sebagaimana di atas, bukanlah isapan jempol belaka. Namun benar-benar melalui pemahaman atas dalil-dalil yang terdapat dalam ayat-ayat Allah.

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa Islam mengajarkan tentang kehidupan manusia yaitu berasal dari Allah (Sang Pencipta/Al Khaliq). Artinya, manusia diciptakan oleh Allah, Al Khaliq. Dari sini jelas sekali bahwa konsep Sang Pencipta adalah konsep dasar dalam Islam. Artinya, pemahaman “Tuhan itu tidak ada” adalah paham yang bertentangan dengan Islam. Dengan memperhatikan hal-hal yang dapat kita indera (lihat, dengar, dan raba) seperti manusia, alam semesta, dan kehidupan, maka kita berkesimpulan bahwa ketiganya ada karena diadakan, bukan ada dengan sendirinya. Ketiganya sering kita sebut dengan makhluk. Siapa yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan (makhluk)? Tidak lain adalah Sang Pencipta (Al Khaliq).

Kemudian Islam juga menjelaskan bahwa tujuan manusia hidup di dunia adalah beribadah kepada Allah. Beribadah kepada Allah di sini maksudnya adalah bahwa manusia wajib menjalani kehidupan sesuai dengan aturan-aturan Allah swt. Mengapa? Sebab, ketika Allah swt. menciptakan manusia, pada saat bersamaan Allah juga menciptakan syariat (aturan) untuk manusia, baik yang terdapat dalam firman Allah maupun lisan rasul-Nya.

Mengapa manusia harus menjalani kehidupan sesuai syariat Allah? Karena, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya. Sebab, setelah manusia menjalani kehidupannya di dunia, maka manusia akan dibangkitkan dari kuburnya dan dihisab (dihitung) amal ibadahnya. Jika manusia menjalani kehidupan sesuai syariat Allah, maka manusia akan dimasukkan ke dalam surga. Tetapi jika manusia tidak menjalankan syariat Allah dalam menjalani kehidupan, maka ancamannya adalah dimasukkan ke dalam neraka. Demikianlah paradigma berpikir Islam (akidah Islam) itu dibangun.

PARADIGMA SISTEM EKONOMI ISLAM

Karena paradigma sistem ekonomi Islam berdasarkan paradigma Islam, maka semuanya berangkat dari pemikiran halal-haram. Mana yang halal maka boleh dikerjakan, dan mana yang haram maka wajib ditinggalkan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, semuanya harus berdasarkan atas halal-haram.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan manusia, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan perbuatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Kedua hal ini (benda dan perbuatan) wajib terikat dengan hukum-hukum halal-haram.

Keharaman benda terlihat dari dalil berikut.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya…” (QS. Al Maidah: 3)

Ayat di atas, dan juga ayat-ayat sejenis dengan sangat jelas mengharamkan beberapa benda/barang, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan sebagainya. Sehingga bekerja dengan cara memperjualbelikan daging babi, itu haram hukumnya. Atau menjadi pengusaha khamr, itu juga haram hukumnya.

Kemudian, berkaitan dengan kehalalan benda, contoh dalilnya adalah sebagai berikut.
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu….” (QS. Al Maidah: 96)

Ayat di atas menjelaskan tentang kehalalan berbagai binatang laut. Sehingga memperjualbelikan binatang laut seperti ikan, maka hukumnya diperbolehkan.

Berkaitan dengan keharaman perbuatan, terlihat berdasarkan contoh dalil berikut ini.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…” (QS. Ali Imran: 130)

“…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)

Oleh karena itu, riba (bunga) dengan segala bentuknya dan istilahnya, hukumnya jelas haram.

Kemudian berkaitan dengan kehalalan perbuatan, maka contoh dalilnya adalah sebagai berikut.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Qais bin Abi Ghurzah Al Kinani yang mengatakan: “Kami, pada masa Rasulullah SAW, biasa disebut (orang) dengan sebutan samasirah. Kemudian (suatu ketika) kami bertemu Rasulullah SAW, lalu beliau menyebut kami dengan sebutan yang lebih pantas dari sebutan tadi.”

Hadis di atas menjelaskan tentang kehalalan perbuatan, yaitu menjadi samsarah (makelar).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelas sudah bahwa paradigma ekonomi Islam, adalah halal dan haram. Dengan kata lain, baik-buruknya sesuatu ditentukan oleh hukum syara’. Halal dan haram ini, ditetapkan oleh Allah. Halal dan haram ini juga membawa konsekuensi pada nasib hidup manusia di akhirat, apakah di surga atau di neraka.

Jika seseorang sudah memahami halal dan haram, maka dia akan mendapatkan kebaikan-kebaikan sebagaimana karakter utama Islam, yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’: 107)

Rasulullah saw. direpresentasikan sebagai Islam itu sendiri. Sebab, apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. tidak lain adalah Islam.

PARADIGMA EKONOMI ISLAM PERTAMA: KONSEP KEPEMILIKAN

Islam memandang bahwa seluruh yang ada di langit dan di bumi, hakikatnya adalah milik Allah. Allah berfirman,
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi…” (QS. An Nisa: 131)

Namun demikian, Allah telah memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya. Allah berfirman,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…” (QS. Al Hadid: 7)

Sekalipun Allah telah menguasakan segala yang ada di langit dan di bumi, namun Allah akan memintai pertanggungjawaban manusia atas apa yang telah diperbuatnya, baik tentang cara mendapatkan harta maupun cara membelanjakannya. Allah berfirman,
”Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al Hijr: 92-93)

Segala yang dilakukan manusia, dalam memenuhi kebutuhannya atas apa yang telah Allah berikan kepada manusia, semuanya diketahui oleh Allah. Allah berfirman,
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit…” (QS. Yunus: 61)

Oleh karenanya, harta semestinya hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah, yang memiliki harta itu.

Dalam Islam, konsep kepemilikan ini dibatasi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Kepemilikan individu adalah izin Allah kepada setiap individu untuk memanfaatkan seluruh benda yang ada di alam secara umum. Dasarnya adalah sebagai berikut.
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al Jatsiyah: 13)

Kepemilikan umum adalah izin Allah selaku pembuat hukum kepada masyarakat untuk memanfaatkan sumber alam secara bersama-sama. Yang termasuk kepemilikan umum adalah sebagai berikut.

Pertama, adalah barang-barang yang penting bagi masyarakat banyak, yang jika barang tersebut tidak ada maka akan menyebabkan kekacauan. Misalnya, sumber mata air, listrik, sumber energi, dan sebagainya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.
“Kaum muslimin berserikat atas tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud)

Kedua, adalah benda-benda yang karakter pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya. Misalnya jalan raya, jalan kecil, jalan kereta api, danau, laut, samudra, pulau, dan sebagainya. Dalilnya, Rasulullah saw. bersabda,
“Mina adalah milik orang-orang yang terlebih dahulu sampai.” (HR. Abu Dawud)

Kota Mina adalah kota tempat syiar haji dilakukan seperti melempar jumrah atau bermalam di Mina. Artinya, jika ada jemaah haji yang terlebih dulu sampai di salah satu bagian di kota Mina, maka dia berhak menempati tempat itu untuk melaksanakan syiar haji. Berdasarkan hal tersebut, maka tempat yang karakter pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu, hukumnya adalah milik umum.

Ketiga, adalah benda-benda yang jumlahnya banyak atau tidak terbatas. Contohnya adalah berbagai jenis barang tambang yang ada. Dalilnya adalah hadis berikut.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya.”

Arti dari kalimat “yang bagaikan air mengalir” menunjukkan bahwa benda yang diberikan Rasulullah saw. tersebut jumlahnya melimpah. Tetapi karena jumlahnya melimpah, maka Rasulullah menariknya kembali dan tidak menjadikannya milik individu, tetapi milik umum.

Sementara itu, setiap kekayaan yang penggunaannya tergantung pada pendapat khalifah dan ijtihadnya, dianggap sebagai kepemilikan negara seperti pajak (dharibah), kharaj, dan jizyah (pungutan dari kafir dzimmi, orang kafir yang rela menjadi warga negara Khilafah Islam).

PARADIGMA EKONOMI ISLAM KEDUA: MONEY BERBEDA DENGAN CAPITAL

Dalam konteks ini, Islam membedakan antara uang (money) dengan modal (capital). Money adalah milik masyarakat, maka penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif, atau sekedar ditabung tanpa dibelanjakan) harus dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat. Bila diibaratkan sebuah darah, maka perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi, jika darah tersebut berhenti beredar atau semakin kecil jumlah yang beredar. Demikian pula dengan uang. Semakin cepat money berputar dalam perekenomian, maka akan semakin baik bagi perekonomian masyarakat. Maka, uang harus dibelanjakan. Kalau pun tidak, hendaknya dana itu diinvestasikan, disedekahkan atau dipinjamkan (qard) tanpa memungut riba, dan dikeluarkan zakatnya, serta dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini artinya tambahan ‘darah’ baru bagi perekonomian secara keseluruhan.

Bagi yang tidak dapat memproduktifkan capital-nya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan syirkah, yakni berbisnis dengan prinsip bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengalami risiko dalam syirkah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard. Tapi dengan qard jangan mengharap keuntungan. Karena keuntungan hanya berhak bagi mereka yang bersiap menanggung rugi.

Islam tidak mengenal motif money demand for speculation, karena spekulasi (maysir) dilarang. Dan kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta (capital) sebagai obyek zakat. Konsep ini jelas sangat berlawanan dengan konsep konvensional, dimana money (dan juga capital) dipandang semua sebagai private goods. Baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, capital harus menghasilkan uang. Dalam kenyataannya, “investasi” di sektor bukan produksi (sektor nonriil), cenderung terus meningkat jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi.

PARADIGMA EKONOMI ISLAM KETIGA: MEMENTINGKAN KEPENTINGAN MANUSIA, BUKAN KEPENTINGAN SEGELINTIR MANUSIA

Islam ditegakkan untuk mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia, dan sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat; BUKAN manusia sebagai individu serta bukan pula yang terasing atau individu yang hidup dalam masyarakat yang individu-individunya tidak terikat dengan norma apa pun. Jadi, Islam memandang bahwa perekonomian itu bagi seluruh manusia, BUKAN bagi individu, dan perekonomian itu bagi masyarakat, BUKAN bagi kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Islam tidak memisahkan antara apa yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, namun Islam menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masalah masyarakat, ia memperhatikan kepentingan individu, demikian sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu, diperhatikannya kepentingan masyarakat.

Sebagai contoh, bila Islam mengharamkan memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras atau seks bebas, bukanlah dipandang sebagai masalah individu serta bagaimana memenuhi hasrat akan minuman dan seks bebas itu, melainkan dipandang sebagai masalah manusia yang hidup di tengah masyarakat. Islam tahu (karena Sang Pencipta Yang Maha Tahu yang menetapkan) miras dan seks bebas pasti akan berakibat buruk bagi manusia (kendati beberapa individu gemar melakukan), yang tentu akan tidak baik pula untuk. Oleh karenanya, dalam sistem ekonomi Islam barang-barang itu tidak dianggap sebagai materi ekonomi.

PARADIGMA EKONOMI ISLAM KEEMPAT: TIDAK ADA DIKOTOMIS ANTARA KEBUTUHAN ROHANI DAN KEBUTUHAN JASMANI

Dalam sistem ekonomi Islam, tidak dikenal dikotomi antara pemenuhan kebutuhan material di satu sisi dengan kepuasan spiritual di sisi lain. Ketika seorang muslim berdagang misalnya, atau negara mengelola sumber daya alam, dan itu dilakukan sesuai syariah, maka di samping mendapatkan keuntungan material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Sebab, pada hakikatnya ketika mengelola sumber daya alam atau sedang berdagang berdasarkan syariat Islam, seseorang telah menghamba kepada Allah berdasarkan nilai-nilai ruhiyah yang ada. Sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah. Mengelola sumber daya alam berdasarkan syariah, juga merupakan bentuk ketundukan dan penghambaan kepada Allah.

PENUTUP

Demikianlah paradigma sistem ekonomi Islam yang agung itu dibangun. Paradigma yang agung ini berangkat dari akidah Islam, dari konsep halal-haram, yang tidak hanya akan membawa kebaikan untuk umat Islam saja, namun juga untuk seluruh alam. Insya Allah, konsep ini akan kembali diterapkan di bawah naungan Khilafah Islam.

0 komentar:

Posting Komentar

komunikasiKu