diarymuslim Intelektual Mahasiswa LDK FKUI KamPusKu

dakwah islam

Jumat, 09 November 2012

PARADIGMA SISTEM EKONOMI ISLAM


PARADIGMA SISTEM EKONOMI ISLAM


PENGANTAR

Sistem ekonomi Islam adalah sebuah pemahaman akan ekonomi yang berangkat dari pandangan ideologi Islam. Artinya, sistem ekonomi Islam berangkat dari pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan; apa-apa yang ada sebelum kehidupan dunia (Al Khaliq); apa-apa yang ada setelah kehidupan dunia (al akhirah); serta keterkaitan ketiganya. Pemikiran seperti inilah yang mampu menjawab persoalan mendasar manusia, yaitu: darimana saya berasal? Untuk apa saya hidup di dunia? dan kemana saya setelah mati? Dengan pemikiran menyeluruh di atas, maka pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut akan bisa dijawab. Jika pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut bisa dijawab, maka pertanyaan cabangnya juga tentu akan bisa dijawab. Misalnya: apa hukum mencari nafkah? Bagaimana caranya mencari nafkah? Apa hukum mencari nafkah dengan cara begini dan apa hukum mencari nafkah dengan cara begitu? Apa hukum memiliki benda ini dan apa hukum memiliki benda itu? Bagaimana manusia harus memenuhi kebutuhannya, dan bagaimana manusia harus membelanjakan hartanya? Semua ini niscaya akan bisa dijawab, jika berbagai pertanyaan mendasar di atas bisa dijawab dan diaplikasikan dengan baik.

PARADIGMA ISLAM SECARA UMUM

Berbicara soal paradigma Islam, sama artinya dengan berbicara soal akidah Islam. Sebagaimana di atas, yang dimaksud akidah Islam adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan; apa-apa yang ada sebelum kehidupan dunia (Al Khaliq); apa-apa yang ada setelah kehidupan dunia (al akhirah); serta keterkaitan ketiganya.

Ada sebagian kalangan menilai bahwa pemahaman ini adalah pemahaman bid’ah, yang tidak ada dasarnya sebelumnya. Atau, pemahaman ini dinilai sebagai pemahaman yang mengagung-agungkan akal, sebab hanya diperoleh dari akal (pemikiran) dan tidak ada dasarnya sedikit pun, termasuk pandangan para ulama terdahulu (salaf) tentang hal ini. Sebenarnya, pendapat tersebut salah besar. Jika dikatakan bahwa pemahaman tentang akidah ini dinilai sebagai pemahaman yang tidak ada dasarnya, itu merupakan suatu pemahaman yang salah dan tidak jeli dalam memahami fakta dalil.

Islam bicara soal manusia, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…” (QS. An Nisa: 1)

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun: 14)

Islam bicara soal alam semesta dan kehidupan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah: 164)

Islam bicara tentang, apa-apa yang ada sebelum kehidupan dunia (konsep Sang Pencipta), “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi….” (QS. Fathir: 1)

Islam bicara soal akhirat (surga dan neraka), “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Qashash: 83)

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa hubungan antara kehidupan manusia di dunia dengan di akhirat itu seperti apa. Yaitu bahwa jika manusia bertakwa maka dia akan mendapatkan pahala dan bagi orang yang berbuat kejahatan (jariimah) maka baginya adalah dosa; sebagaimana dijelaskan dalam ayat selanjutnya, “Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al Qashash: 84)

Islam juga bicara tentang keterkaitan antara manusia dengan Tuhannya (Allah), yaitu bahwa selain Allah menciptakan manusia, Allah juga memberikan syariat untuk manusia. Allah berfirman, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al Jatsiyah: 18)

Jadi, pemahaman tentang akidah Islam (paradigma Islam) sebagaimana di atas, bukanlah isapan jempol belaka. Namun benar-benar melalui pemahaman atas dalil-dalil yang terdapat dalam ayat-ayat Allah.

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa Islam mengajarkan tentang kehidupan manusia yaitu berasal dari Allah (Sang Pencipta/Al Khaliq). Artinya, manusia diciptakan oleh Allah, Al Khaliq. Dari sini jelas sekali bahwa konsep Sang Pencipta adalah konsep dasar dalam Islam. Artinya, pemahaman “Tuhan itu tidak ada” adalah paham yang bertentangan dengan Islam. Dengan memperhatikan hal-hal yang dapat kita indera (lihat, dengar, dan raba) seperti manusia, alam semesta, dan kehidupan, maka kita berkesimpulan bahwa ketiganya ada karena diadakan, bukan ada dengan sendirinya. Ketiganya sering kita sebut dengan makhluk. Siapa yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan (makhluk)? Tidak lain adalah Sang Pencipta (Al Khaliq).

Kemudian Islam juga menjelaskan bahwa tujuan manusia hidup di dunia adalah beribadah kepada Allah. Beribadah kepada Allah di sini maksudnya adalah bahwa manusia wajib menjalani kehidupan sesuai dengan aturan-aturan Allah swt. Mengapa? Sebab, ketika Allah swt. menciptakan manusia, pada saat bersamaan Allah juga menciptakan syariat (aturan) untuk manusia, baik yang terdapat dalam firman Allah maupun lisan rasul-Nya.

Mengapa manusia harus menjalani kehidupan sesuai syariat Allah? Karena, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya. Sebab, setelah manusia menjalani kehidupannya di dunia, maka manusia akan dibangkitkan dari kuburnya dan dihisab (dihitung) amal ibadahnya. Jika manusia menjalani kehidupan sesuai syariat Allah, maka manusia akan dimasukkan ke dalam surga. Tetapi jika manusia tidak menjalankan syariat Allah dalam menjalani kehidupan, maka ancamannya adalah dimasukkan ke dalam neraka. Demikianlah paradigma berpikir Islam (akidah Islam) itu dibangun.

PARADIGMA SISTEM EKONOMI ISLAM

Karena paradigma sistem ekonomi Islam berdasarkan paradigma Islam, maka semuanya berangkat dari pemikiran halal-haram. Mana yang halal maka boleh dikerjakan, dan mana yang haram maka wajib ditinggalkan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, semuanya harus berdasarkan atas halal-haram.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan manusia, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan perbuatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Kedua hal ini (benda dan perbuatan) wajib terikat dengan hukum-hukum halal-haram.

Keharaman benda terlihat dari dalil berikut.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya…” (QS. Al Maidah: 3)

Ayat di atas, dan juga ayat-ayat sejenis dengan sangat jelas mengharamkan beberapa benda/barang, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan sebagainya. Sehingga bekerja dengan cara memperjualbelikan daging babi, itu haram hukumnya. Atau menjadi pengusaha khamr, itu juga haram hukumnya.

Kemudian, berkaitan dengan kehalalan benda, contoh dalilnya adalah sebagai berikut.
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu….” (QS. Al Maidah: 96)

Ayat di atas menjelaskan tentang kehalalan berbagai binatang laut. Sehingga memperjualbelikan binatang laut seperti ikan, maka hukumnya diperbolehkan.

Berkaitan dengan keharaman perbuatan, terlihat berdasarkan contoh dalil berikut ini.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…” (QS. Ali Imran: 130)

“…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)

Oleh karena itu, riba (bunga) dengan segala bentuknya dan istilahnya, hukumnya jelas haram.

Kemudian berkaitan dengan kehalalan perbuatan, maka contoh dalilnya adalah sebagai berikut.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Qais bin Abi Ghurzah Al Kinani yang mengatakan: “Kami, pada masa Rasulullah SAW, biasa disebut (orang) dengan sebutan samasirah. Kemudian (suatu ketika) kami bertemu Rasulullah SAW, lalu beliau menyebut kami dengan sebutan yang lebih pantas dari sebutan tadi.”

Hadis di atas menjelaskan tentang kehalalan perbuatan, yaitu menjadi samsarah (makelar).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelas sudah bahwa paradigma ekonomi Islam, adalah halal dan haram. Dengan kata lain, baik-buruknya sesuatu ditentukan oleh hukum syara’. Halal dan haram ini, ditetapkan oleh Allah. Halal dan haram ini juga membawa konsekuensi pada nasib hidup manusia di akhirat, apakah di surga atau di neraka.

Jika seseorang sudah memahami halal dan haram, maka dia akan mendapatkan kebaikan-kebaikan sebagaimana karakter utama Islam, yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’: 107)

Rasulullah saw. direpresentasikan sebagai Islam itu sendiri. Sebab, apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. tidak lain adalah Islam.

PARADIGMA EKONOMI ISLAM PERTAMA: KONSEP KEPEMILIKAN

Islam memandang bahwa seluruh yang ada di langit dan di bumi, hakikatnya adalah milik Allah. Allah berfirman,
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi…” (QS. An Nisa: 131)

Namun demikian, Allah telah memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya. Allah berfirman,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…” (QS. Al Hadid: 7)

Sekalipun Allah telah menguasakan segala yang ada di langit dan di bumi, namun Allah akan memintai pertanggungjawaban manusia atas apa yang telah diperbuatnya, baik tentang cara mendapatkan harta maupun cara membelanjakannya. Allah berfirman,
”Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al Hijr: 92-93)

Segala yang dilakukan manusia, dalam memenuhi kebutuhannya atas apa yang telah Allah berikan kepada manusia, semuanya diketahui oleh Allah. Allah berfirman,
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit…” (QS. Yunus: 61)

Oleh karenanya, harta semestinya hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah, yang memiliki harta itu.

Dalam Islam, konsep kepemilikan ini dibatasi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Kepemilikan individu adalah izin Allah kepada setiap individu untuk memanfaatkan seluruh benda yang ada di alam secara umum. Dasarnya adalah sebagai berikut.
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al Jatsiyah: 13)

Kepemilikan umum adalah izin Allah selaku pembuat hukum kepada masyarakat untuk memanfaatkan sumber alam secara bersama-sama. Yang termasuk kepemilikan umum adalah sebagai berikut.

Pertama, adalah barang-barang yang penting bagi masyarakat banyak, yang jika barang tersebut tidak ada maka akan menyebabkan kekacauan. Misalnya, sumber mata air, listrik, sumber energi, dan sebagainya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.
“Kaum muslimin berserikat atas tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud)

Kedua, adalah benda-benda yang karakter pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya. Misalnya jalan raya, jalan kecil, jalan kereta api, danau, laut, samudra, pulau, dan sebagainya. Dalilnya, Rasulullah saw. bersabda,
“Mina adalah milik orang-orang yang terlebih dahulu sampai.” (HR. Abu Dawud)

Kota Mina adalah kota tempat syiar haji dilakukan seperti melempar jumrah atau bermalam di Mina. Artinya, jika ada jemaah haji yang terlebih dulu sampai di salah satu bagian di kota Mina, maka dia berhak menempati tempat itu untuk melaksanakan syiar haji. Berdasarkan hal tersebut, maka tempat yang karakter pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu, hukumnya adalah milik umum.

Ketiga, adalah benda-benda yang jumlahnya banyak atau tidak terbatas. Contohnya adalah berbagai jenis barang tambang yang ada. Dalilnya adalah hadis berikut.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya.”

Arti dari kalimat “yang bagaikan air mengalir” menunjukkan bahwa benda yang diberikan Rasulullah saw. tersebut jumlahnya melimpah. Tetapi karena jumlahnya melimpah, maka Rasulullah menariknya kembali dan tidak menjadikannya milik individu, tetapi milik umum.

Sementara itu, setiap kekayaan yang penggunaannya tergantung pada pendapat khalifah dan ijtihadnya, dianggap sebagai kepemilikan negara seperti pajak (dharibah), kharaj, dan jizyah (pungutan dari kafir dzimmi, orang kafir yang rela menjadi warga negara Khilafah Islam).

PARADIGMA EKONOMI ISLAM KEDUA: MONEY BERBEDA DENGAN CAPITAL

Dalam konteks ini, Islam membedakan antara uang (money) dengan modal (capital). Money adalah milik masyarakat, maka penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif, atau sekedar ditabung tanpa dibelanjakan) harus dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat. Bila diibaratkan sebuah darah, maka perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi, jika darah tersebut berhenti beredar atau semakin kecil jumlah yang beredar. Demikian pula dengan uang. Semakin cepat money berputar dalam perekenomian, maka akan semakin baik bagi perekonomian masyarakat. Maka, uang harus dibelanjakan. Kalau pun tidak, hendaknya dana itu diinvestasikan, disedekahkan atau dipinjamkan (qard) tanpa memungut riba, dan dikeluarkan zakatnya, serta dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini artinya tambahan ‘darah’ baru bagi perekonomian secara keseluruhan.

Bagi yang tidak dapat memproduktifkan capital-nya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan syirkah, yakni berbisnis dengan prinsip bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengalami risiko dalam syirkah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard. Tapi dengan qard jangan mengharap keuntungan. Karena keuntungan hanya berhak bagi mereka yang bersiap menanggung rugi.

Islam tidak mengenal motif money demand for speculation, karena spekulasi (maysir) dilarang. Dan kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta (capital) sebagai obyek zakat. Konsep ini jelas sangat berlawanan dengan konsep konvensional, dimana money (dan juga capital) dipandang semua sebagai private goods. Baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, capital harus menghasilkan uang. Dalam kenyataannya, “investasi” di sektor bukan produksi (sektor nonriil), cenderung terus meningkat jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi.

PARADIGMA EKONOMI ISLAM KETIGA: MEMENTINGKAN KEPENTINGAN MANUSIA, BUKAN KEPENTINGAN SEGELINTIR MANUSIA

Islam ditegakkan untuk mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia, dan sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat; BUKAN manusia sebagai individu serta bukan pula yang terasing atau individu yang hidup dalam masyarakat yang individu-individunya tidak terikat dengan norma apa pun. Jadi, Islam memandang bahwa perekonomian itu bagi seluruh manusia, BUKAN bagi individu, dan perekonomian itu bagi masyarakat, BUKAN bagi kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Islam tidak memisahkan antara apa yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, namun Islam menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masalah masyarakat, ia memperhatikan kepentingan individu, demikian sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu, diperhatikannya kepentingan masyarakat.

Sebagai contoh, bila Islam mengharamkan memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras atau seks bebas, bukanlah dipandang sebagai masalah individu serta bagaimana memenuhi hasrat akan minuman dan seks bebas itu, melainkan dipandang sebagai masalah manusia yang hidup di tengah masyarakat. Islam tahu (karena Sang Pencipta Yang Maha Tahu yang menetapkan) miras dan seks bebas pasti akan berakibat buruk bagi manusia (kendati beberapa individu gemar melakukan), yang tentu akan tidak baik pula untuk. Oleh karenanya, dalam sistem ekonomi Islam barang-barang itu tidak dianggap sebagai materi ekonomi.

PARADIGMA EKONOMI ISLAM KEEMPAT: TIDAK ADA DIKOTOMIS ANTARA KEBUTUHAN ROHANI DAN KEBUTUHAN JASMANI

Dalam sistem ekonomi Islam, tidak dikenal dikotomi antara pemenuhan kebutuhan material di satu sisi dengan kepuasan spiritual di sisi lain. Ketika seorang muslim berdagang misalnya, atau negara mengelola sumber daya alam, dan itu dilakukan sesuai syariah, maka di samping mendapatkan keuntungan material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Sebab, pada hakikatnya ketika mengelola sumber daya alam atau sedang berdagang berdasarkan syariat Islam, seseorang telah menghamba kepada Allah berdasarkan nilai-nilai ruhiyah yang ada. Sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah. Mengelola sumber daya alam berdasarkan syariah, juga merupakan bentuk ketundukan dan penghambaan kepada Allah.

PENUTUP

Demikianlah paradigma sistem ekonomi Islam yang agung itu dibangun. Paradigma yang agung ini berangkat dari akidah Islam, dari konsep halal-haram, yang tidak hanya akan membawa kebaikan untuk umat Islam saja, namun juga untuk seluruh alam. Insya Allah, konsep ini akan kembali diterapkan di bawah naungan Khilafah Islam.

Rabu, 07 November 2012

imamah dan khilafah

Masalah imamah telah lama menjadi salah satu “menu tetap” dalam ajang perdebatan para mutakallimin dari berbagai firqoh (madzhab aqidah) dalam Islam, terutama antara pihak sunni dan syi’ah. Untuk mempertahankan pendapat mereka, para pemuka dari masing-masing golongan sering menyediakan bab tersendiri tentang imamah dalam kitab-kitab aqidah mereka[1]. Para ulama Sunni -yang menganggap imamah sebagai masalah furu’ (cabang)- merasa ‘terpaksa’ untuk menyelipkan masalah imamah ini di antara isu-isu aqidah, bukan karena menganggapnya sebagai bagian dari aqidah, akan tetapi, hanya dalam rangka merespon beberapa syubhat yang dilontarkan oleh firqoh lain seperti khawarij, mu’tazilah dan terutama imamiyah, firqoh yang meletakkan imamah ini sebagai salah satu pilar (rukn) aqidah.[2] Para pakar hukum (fuqaha’) sunni juga meletakkan bab imamah dalam berbagai karya fiqh[3], di samping ada juga kitab-kitab yang secara khusus membahas masalah imamah sebagai sebuah objek kajian fiqhiyah[4].
Di tengah perdebatan yang ada, tak terhitung ulama –baik ahli kalam maupun ahli fiqh- yang menyatakan kewajiban imamah dan nashbul imam (mengangkat imam) dalam kitab-kitab mereka. Sebagai contoh, dalam al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, al-Jazairi menyatakan:
“Para imam (madzhab) rahimahumullah telah sepakat bahwa imamah itu fardhu dan bahwa kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama,…”[5]
Hanya saja, terdapat sebagaian orang yang memiliki kebiasaan menambahkan keterangan berupa kata “(khilafah)” di belakang kata imamah,atau kata “(khalifah)” di belakang kata imam dalam teks-teks seperti di atas, sehingga mereka biasa “mengubah” kutipan seperti itu menjadi:
“Para imam rahimahumullah telah sepakat bahwa imamah (khilafah) itu fardhu dan bahwa kaum muslimin harus memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama,…”
Melihat kebiasaan memberi sisipan seperti itu, seorang penulis status di FB, Sigit Kamseno namanya, menganggap pelakunya sebagai pewaris perbuatan umat-umat terdahulu yang hancur karena kebiasaan menambah kata di dalam tanda kurung untuk memaknai suatu istilah di dalam kitab-kitab mereka. Masih menurutnya, tujuan penambahan itu adalah untuk “menggiring persepsi umat”. Mungkin yang dimaksud semacam melakukan “penyesatan persepsi” (misleading) atau pendistorsian makna ketika menyandingkan kata imam dengan khalifah dan imamah dengan khilafah, karena –sejauh pengetahuan beliau- konsep imam-imamah itu tidak kongruen dengan konsep khalifah-khilafah. Beliau mengatakan:…
“Diantara penyebab kerusakan ummat terdahulu, Adalah kebiasaan menambah kata di dalam kurung utk pemaknaan suatu istilah di dalam kitab2 mereka. Tujuannya adalah utk menggiring persepsi umatnya. Akibat buruk dari kebiasaan ini adalah distorsi thd makna yg sebenarnya. Ternyata kebiasaan ini mewaris pd orang2 yg seringkali menambah kata “(khilafah)” setelah kata ‘imamah’, atau menambah kata “(khalifah)” setelah kata ‘imam’ Seolah konsep imamah mesti berarti khilafah.  Tujuannya sama, menggiring persepsi umat, Padahal makna dari dua kata tsb tdklah sama.”
Faktanya, hal seperti itu memang banyak dilakukan. Salah satu contohnya adalah penulis di situs HTI yang menukil dan menerjemahkan beberapa baris kata dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW…”[6] Padahal kata khilafah dalam tanda kurung itu tidak ada dalam teks aslinya.
Hal yang serupa juga dilakukan oleh penerjemah kitab al-Ahkam as-Sulthoniyyah karya Al-Mawardi yang diterbitkan oleh Darul Falah, Jakarta. Dalam buku itu, penerjemah mengimbuhkan keterangan (khalifah) hampir di belakang seluruh kata imam. Terdapat pula kata khilafah yang diberi keterangan(imamah). Sekedar contoh: Pada halaman satu tertulis: “sesungguhnya imam (khalifah) diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia”. Padahal, dalam kitab aslinya, hanya disebutkan kata الإمام(imam), tidak ada keterangan (الخليفة). Pada halaman empat tertulis: “kemudian orang-orang Anshor mengurungkan keinginannya terhadap jabatan khilafah (imamah) dan mundur daripadanya“.[7] Padahal dalam kitab aslinya hanya tertulis khilafah saja.
Bahkan, kita bisa menemukan bahwa sang penerjemah langsung konversikan kata khilafah kedalam kata imamahtanpa keterangan apa pun, dan itu terjadi belasan kali. Sekedar contoh: dalam edisi Arab terdapat frase: “lazima kaaffatal ummah an ya’rifuu ifdhoo’al khilafah ilaa mustahiqqihaa bishifatihi“.[8] Kalimat ini diterjemahkan  menjadi, “seluruh umat tanpa kecuali wajib mengetahui sifat-sifat orang yang mendapat amanah imamah (kepemimpinan) ini”.[9] Perhatikan bagaimana kata khilafah diterjemahkan begitu saja menjadi imamahtanpa keterangan.
Lantas benarkah bahwa tindakan seperti itu merupakan usaha pendistorsian makna yang setara dengan perbuatan nista kaum-kaum terdahulu yang telah mengutak-atik kitab mereka? Dan benarkah konsep yang diwakili oleh istilah imamah itu berbeda dengan konsep yang terkandung dalam istilah khilafah? Kita akan berusaha membuktikan bahwa anggapan tersebut sepenuhnya salah, wabillaahit taufiiq

Makna Imam dan Imamah secara Bahasa (lughowi)

Tolak ukur pembahasan kita adalah kata imam dan imamah, sedang yang akan kita hukumi adalah kata khalifah dan khilafah, dari segi apakah ia semakna dengan kata imam dan imamah. Semuanya kita pelajari sebagai istilah yang dipakai oleh para ulama sunni dalam karya-karya akidah maupun fiqh mereka, bukan dalam konteks yang lain. namun sebelumnya, perlu kita ungkap terlebih dahulu makna bahasa dari istilah tersebut.
Imam dan imamah berakar dari kerja amma (أمّ). Dalam kamus Lisanul ‘Arab dijelaskan bahwa kata kerja amma (أمّ)memiliki makna “mendahului orang lain” atau “menempatkan diri pada posisi di depan orang lain.[10]“. Dalam kalimat misalnya : amma Zaidun al-qouma  atau amma Zaidun bilqoumi, kedua bentuk kalimat itu memiliki satu makna, yaitu Zaid menempatkan diri atau berjalan di depan sekelompok orang (taqoddamahum). Keadaan atau hal ihwal dimana Zaid berada di depan suatu kaum inilah yang disebut imamah.[11]Maka dari itu, orang yang berada di depan pada saat sholat berjama’ah disebut imam, iabertindak sebagai orang yang diikuti oleh para ma’mum di belakangnya.[12] Dari sinilah kata imam itu kemudian dimaknai sebagai setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum.[13] Maka, dalam bahasa yang mudah, imam itu bisa kita artikan seagai pemimpin (leader), sedangkan imamah adalah kepemimpinan (leadership).[14]
Adapun kata khalifah dan khilafah maka keduanya berasal dari kata kerja (fi’l) khalafa – yakhlufu (خلف – يخلف), yang berarti “menggantikan orang lain untuk menempati kedudukan yang pernah ia tempati”. Sedangkan khalifah merupakan ism faa’il (sebutan bagi pelaku) dari kata kerja tersebut. Meski kata khalifahberwazan fa’iil namun maknanya adalah faa’il, seperti halnya ‘aliim yang bermakna ‘aalim, sehingga secara harfiah ia bisa diartikan sebagai “pengganti” alias orang yang menggantikan kedudukan pendahulunya. Sementara itu kata khilafahadalah mashdar (gerund) alias kata benda yang diturunkan dari kata kerja kholafa tersebut, sehingga secara literal ia bisa diartikan sebagai “proses penggantian” alias suksesi.[15] Orang Arab, sebagaimana dikutip oleh Al-Qolqosyandi- mengatakan : kholafahuu fii qoumihii yakhlufuhuu khilafatan fahuwa kholiifatun [16](ia menggantikan kedudukannya (pendahulunya) di tengah-tengah kaumnya, menggantikannya dengan suatu proses penggantian (khilafah) maka dia adalah seorang pengganti (khalifah)). Ibnu Mandhur menyatakan, “yuqoolu : kholafa fulaanun fulaanan idzaa kaana kholiifatahu. Wa yuqoolu: kholafahuu fii qoumihii khilaafatan”[17](dikatakan bahwa Si A menggantikan si B apabila dia menjadi khalifah-nya. Dan dikatakan: ia menggantikan (kedudukan)-nya di tengah kaumnya dengan sebuah suksesi/khilafah). Singkatnya, khalifahadalah pengganti sedangkan khilafah adalah proses penggantian. Menilik hal tersebut, secara bahasa, keduanya memang tidak layak disandingkan dengan kata imam dan imamah mengingat maknanya yang jauh berbeda.

Mengartikan kata imamah dalam kitab-kitab aqidah dan fiqih hanya secara bahasa merupakan kekeliruan

Nampaknya, bertolak dari makna bahasa di atas, sebagian orang menganggap bahwa konsep imamah dan khilafah itu tidaklah sama. Imamah menurut mereka hanyalah bermakna kepemimpinan secara umum. Maka ketika mereka membaca pernyataan para ulama tentang kewajiban mengangkat imam, mereka pun berkata bahwa kewajiban imamah dan  nashbul imam itu hanya berarti bahwa umat islam wajib memiliki negara dan kepala negara. Islam tidak menuntut umatnya untuk menyelenggarakan kepemimpinan atau pemerintahan dengan karakter tertentu yang disebut khilafah. Dengan demikian, menurut mereka, kaum muslimin pada saat sekarang telah memenuhi kewajiban imiamah ini, karena mereka semua telah memiliki negara dan juga memiliki pemimpin (imam), entah disebut presiden, raja, sultan atau sebutan apa pun. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa para ulama yang mewajibkan imamah itu sama sekali tidak bermaksud untuk membicarakan masalah khilafah apalagi mewajibkan sistem khilafah tersebut.
Untuk membuktikan kesalahan anggapan tersebut, kami akan berusaha menunjukkan bahwa konsep imamah dan khilafah yang dimaksud oleh para ulama itu adalah sama. Kami akan membuktikannya dari beberapa segi berikut:
  1. Dari segi redaksi definisi imamah dan khilafah yang digunakan oleh beberapa ulama
  2. Dari segi konsep kepemimpinan yang dimaksud oleh gelar imam dan khalifah
  3. Dari segi tugas yang dijalankan oleh pemangku imamah dan khilafah
  4. Dari segi penggunaan kata imamah dan khilafah oleh para ulama
  5. Dari segi tokoh sejarah yang mendapat gelar imam dan khalifah
  6. Dari segi pernyataan para ulama sendiri bahwa imamah sinonim dari istilah khilafah atau bahwa imam sinonim dengan khalifah
  7. Dari segi sejarah penggunaan gelar imam dan khalifah dalam perdebatan para mutakallimin
Dan Karena yang kita bicarakan adalah imamah dan khilafah sebagai istilah yang ada di dalam bahasan para ulama, maka kali ini kita akan lebih banyak mengutip berbagai ibarat (radaksi) yang mengandung imamah dan khilafah daripada melakukan uraian.

1. Membandingkan Definisi Imamah dan Khilafah

Definisi Imamah

Para ulama, dalam pembahasan mereka tentang imamah, telah menggunakan kata tersebut sebagai sebuah istilah dengan makna yang lebih spesifik dari makna bahasannya. Asy Syaukani menyatakan, “dan yang dimaksud dengan imamah disini bukanlah makna lughawi (bahasa) yang mencakup setiap orang yang diikuti dan dicontoh oleh manusia terlepas dari bagaimana pun sifatnya”.[18] Untuk itu, mari kita tinjau beberapa definisi imamah yang diungkapkan oleh para ulama
Menurut al-Mawardi, imamah adalah, “yang diposisikan sebagai pengganti kenabian (khilafatun nubuwwah) dalam hal menjaga agama dan mengelola urusan dunia dengannya (agama)”[19]
Al-Khathabi mendefinisikan imamah sebagai, “pengganti (khilafah) dan wakil (niyabah) dari Rasulullah saw dalam menegakkan pemerintahan umat setelah beliau (wafat) “.[20]
Al-Iji memilih definisi imamah sebagai, “pengganti kedudukan Rasul saw. (khilafatur Rasul) dalam hal menegakkan agama sehingga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul ummah) untuk mentaatinya”.[21]
Ibnu ‘Abidin mendefinisikannya sebagai, “kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi saw. (khilafatun nabi saw)”
Al-Juwaini menyatakan, “imamah adalah kepemimpinan puncak dan paling tinggi baik terkait hal yang khusus maupun yang umum mengenai kepentingan-kepentingan agama dan dunia”[22]
At-Taftazani mendefinisikannya sebagai, “kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi saw (khilafatun nabi).”[23]
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mendefinisikannya sebagai, “kepemimpinan dalam pemerintahan Islam yang menghimpun kemaslahatan agama dan dunia.”[24]

Definisi khilafah

At Taftazani, ditempat lain, mendefinisikan khilafah sebagai: “pengganti Rasul (niyabatur rasul) untuk menegakkan agama sehngga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul umam) untuk mentaatinya”.[25]
Menurut Ibnu khaldun, khilafah adalah: ” wakil dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengurusi dunia dengan agama tersebut.”[26]
Abdul Hayyi al-Kattani menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan agung (ri’asah ‘udhma), kekuasaan umum yang komprehensif, yang tegak untuk menjaga agama dan dunia.”[27]
Wahbah az-Zuhaili berkata, ” Khilafah: Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia bagi seluruh kaum muslimin di seluruh daerah.”[28]
An Nabhani menyatakan bahwa khilafah adalah: “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.”[29]
Kesimpulan
Mengacu kepada definisi kedua istilah yang telah kami kemukakan, dapat kita simpulkan bahwa apa yang disebut imamah itu sebenarnya sama dengan apa yang disebut dengan istilah khilafah. Artinya, ia merupakan satu hal yang diungkap dengan sebutan yang berbeda. Alasannya:
  1. Karena al-Mawardi, al-Khathabi, al-Iji, at-Taftazani dan Ibnu ‘Abidin terang-terangan menyatakan dalam pendefinisian mereka tentang imamah bahwa imamah itu adalah “khilafah nubuwah”, “khilafah nabi” atau “khilafah rasul”.
  1. Karena ungkapan mereka, baik dalam mendefinisikan imamah maupun khilafah, adalah memiliki pengertian yang dekat. Pada intinya bahwa imamah dan khilafah itu merupakan kepemimpinan bagi seluruh umat islam dalam menegakkan seluruh hukum Islam terkait kehidupan bermasyarakat dan mengurusi urusan dunia dengan Islam.

2. Konsep Kepemimpinan Yang dimaksud oleh imamah dan khilafah

Konsep kepemimpinan Imam

Imamah dalam pembicaraan ulama bukan sembarang kepemimpinan. Imamah yang mereka maksud adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia. Artinya, gelar imam dan lembaga imamah tidak digunakan kecuali dalam konteks pemerintahan yang tertinggi ini. Maka dari itu tidak sembarang pemerintahan layak disebut imamah dan tidak semua pemimpin negara relevan dengan konsep imam yang dibicarakan oleh para ulama.
Konsep tersebut tergambar dalam definisi yang dikemukakan oleh Al-Iji, bahwa imamah adalah: “pengganti kedudukan Rasul saw. (khilafatur Rasul) dalam hal menegakkan agama sehingga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul ummah) untuk mentaatinya”.[30] Kata kaaffatul ummah menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan imamah tersebut adalah kepemimpinan bagi seluruh umat Islam.
Oleh karena itu, terkait dengan sebuah wilayah yang terpisah jauh dari posisi imam sehingga wilayah itu luput dari jangkauan pemerintahannya, maka Imam al-Haramain berpendapat bahwa umat Islam di wilayah itu wajib mengangkat seorang pemimpin yang beliau sebut “amir”. Akan tetapi, amir itu tidaklah setara dengan kedudukan al-imam. Beliau mengatakan:
jika sebelumnya telah ada akad imamah kepada orang yang layak, dan kita melihatnya telah memegang akad serta memiliki otoritas penuh (mustaqillan bin nadhori) di seluruh wilayah yang ada, kemudian terdapat atau muncul secara tiba-tiba perkara yang menghalangi perhatiannya (ke sebuah negeri), maka tidak ada alasan untuk menelantarkan orang-orang yang tidak terjangkau oleh perintah imam. Tetapi mereka hendaknya mengangkat seorang amir, agar mereka dapat merujuk kepada pandangannya, bersandar kepada perintahnya, terikat kepada syari’ah yang dibawa oleh Al Musthofa -saw- dalam segala hal yang mereka kerjakan dan mereka tinggalkan. Namun kedudukan amir tersebut tidak sama dengan jabatan imam. Maka seandainya berbagai penghalang tersebut telah hilang, dan perhatian imam sudah mampu menjangkau mereka, maka amir dan rakyatnya harus tunduk kepada sang imam seraya menyampaikan salam kepadanya. Sedangkan imam hendaknya menerima  udzur mereka lalu mengurusi kepentingan mereka. Apabila dia (imam) menyetujui orang yang mereka angkat (sebagai amir) maka (keputusan mereka itu) tetap berlaku, tapi jika dia melihat perlu adanya penggantian amir, maka keputusannyalah yang diikuti, dan kepadanyalah (kaum muslimin) merujuk.” Jadi jelas, imam dalam bahasa imam al-Haramain adalah al-imamul a’dham alias pemimpin seluruh umat Islam, bukan pemimpin sebuah negeri semata.
Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika gelar imamah itu diucapkan secara mutlak maka yang dimaksud tiada lain hanyalah orang yang berkuasa memelihara urusan ahlul Islam (al-mutawalli li’umuri ahlil islam”.[31]
Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa jumhur ulama tidak membolehkan keberadaan lebih dari satu imam bagi kaum muslimin. Bahkan, Ibnu Hazm mengklaim adanya ijma’ salaf dalam hal ini. Ibnu Hazm berkata dalam Maratibul Ijma’: “dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam bagi kaum muslimin pada satu waktu di seluruh belahan dunia, baik kedua imam itu saling berdamai atau pun bermusuhan, baik keduanya di tempat yang sama maupun di dua tempat yang berbeda.”[32]
Al-Mawardi berkata, “apabila imamah diakadkan kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda maka akad keduanya tidak sah karena umat tidak boleh memiliki dua imam pada satu waktu”.[33] Abu Ya’la menyatakan: “tidak boleh mengakadkan imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda dalam satu masa”.[34]
Senada dengan hal itu, Al-Bazdawi menegaskan “Ahli kiblat secara umum menyatakan: “imamah tidak boleh diakadkan kepada dua orang, sehingga apabila telah diakadkan kepada seseorang maka tidak boleh diakadkan kepada orang lain, dan seandainya terlanjur diakadkan juga kepada orang lain yang menjadi imam adalah yang pertama.”[35]
Dalam al-Bahr ar-Ra’iq dikatakan: “tidak boleh terkumpul dua imam dalam satu zaman”.[36] Sementara itu An Nawawi berkata : “tidak boleh mengangkat dua orang imam pada waktu yang sama meskipun keduanya berada di tempat yang berjauhan”.[37]
Imam al-Haramain menegaskan bahwa kewajiban untuk menyatukan imamah ini merupakan hukum yang disepakati. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat ketika di dunia ini terdapat wilayah darul Islam yang terpencil, tidak terjangkau oleh pemerintahan imam yang ada. Maka dalam kondisi darurat seperti ini ada ulama –seperti al-Isfarayini, al-Baghdadi, asy-Syaukani, dll- yang mengharuskan wilayah terpencil tersebut untuk mengangkat imam sendiri. Namun ada pula ulama –seperti Imam al-Haramain sendiri- yang mewajibkan penduduk tempat terpencil itu untuk mengangkat seorang amir, namun amir tersebut tidak dianggap setara dengan kedudukan imam, seperti yang telah kita kutip sebelumnya.[38]

Konsep kepemimpinan Khalifah

An-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan: “Para ulama sepakat bahwa (khilafah -pent) tidak boleh diakadkan kepada dua orang khalifah dalam satu masa, tidak pedui apakah Darul Islam bertambah luas ataupun tidak”.[39]
At Taftazani mendefinisikan khilafah sebagai: “pengganti Rasul (niyabatur rasul) untuk menegakkan agama sehngga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul umam) untuk mentaatinya”.[40] Wahbah az-Zuhaili berkata, ” Khilafah: Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia bagi seluruh kaum muslimin di seluruh daerah.”[41]
Al-Katani menegaskan bahwa di dunia ini hanya satu orang yang memiliki kedudukan sebagai khalifah, dia adalah pemimpin tertinggi, bukan sebatas pemimpin bangsanya sendiri. Beliau berkata: “Khilafah adalah kepemimpinan agung (ri’asah ‘udhma), kekuasaan umum yang komprehensif, yang tegak untuk menjaga agama dan dunia. Orang yang mendudukinya disebut khalifah, …Dan dia adalah pemimpin tertinggi bukan sekedar pemimpin kaumnya saja sehingga tidak seorang pun memiliki kedudukan yang sama dengannya.”[42]
Kesimpulan
Imamah dan khilafah adalah istilah yang merujuk kepada fakta yang sama, ditinjau dari segi bahwa keduanya merupakan sebutan bagi kepemimpinan umum atas seluruh umat Islam di seluruh dunia.

3. Kesamaan Dari Aspek Tugas Imamah dan Khilafah

Tugas Imamah

Kami menyatakan bahwa kepemimpinan yang dimaksud dengan istilah imamah itu merupakan pemerintahan yang memiliki karakter yang unik, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain. Artinya, imamah itu bukan sembarang kepemimpinan negara. Keunikan itu antara lain terdapat pada tugas utama lembaga imamah sebagaimana tercermin dalam redaksi definisi imamah yang dipakai oleh al-Mawardi : “pengganti kenabian dalam hal menjaga agama dan mengelola dunia dengannya (agama tersebut)”. Hal itu dalam ungkapan al-Iji tersurat melalui frase, “pengganti Rasul dalam menegakkan agama”. Melihat berbagai fungsi yang termuat dalam definisi tersebut, Dr. Musthafa Hilmi menyatakan: “definisi imamah menurut Ahlus Sunnah bersumber dari pemikiran mereka tentang tugas imam dari segi kepemimpinannya terhadap kaum muslimin, penerapan pilar-pilar agama dan keterikatannya kepada hukum syara’”.[43] Artinya, imamah yang dikehendaki di sini adalah negara yang menyatukan agama dan dunia, menjalankan urusan pemerintahan dengan selalu bersandar kepada agama, memiliki tugas pokok menerapkan agama dan menjaganya. Artinya, imamah bukanlah negara sekuler yang menjalankan politik tanpa dasar Islam. Dapat dikatakan bahwa tugas politik yang dijalankan imamah ke dalam negaranya adalah menerapkan hukum Islam secara sempurna. Hal tersebut juga terungkap dari rincian beberapa contoh tugas imam yang disebutkan oleh para ulama.
al-Juwaini mencontohkan beberapa tugas imam, beliau berkata: ” imamah adalah kepemimpinan puncak dan paling tinggi baik terkait hal yang khusus maupun yang umum mengenai kepentingan-kepentingan agama dan dunia, yang tugasnya mencakup: menjaga integritas wilayah, mengurusi rakyat, menegakkan dakwah dengan hujjah dan pedang (jihad -pent), mencegah penyimpangan dan kejahatan, memberi perlindungan bagi orang-orang terdzalimi, mengambil hak-hak (harta) dari orang-orang yang enggan menyerahkannya lalu membagikannya kepada mereka yang berhak”[44]. Perhatikan bagaimana imam itu memiliki tugas pokok untuk menerapkan hukum-hukum agama.
Senada dengan hal itu, Ibnu Hazm menyatakan: “Seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Mu’tazilah, seluruh Syi’ah dan seluruh Khowarij sepakat mengenai wajibnya imamah, dan (sepakat) bahwa fardhu dan wajib bagi umat untuk tunduk kepada seorang imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, serta mengurus mereka dengan syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah saw kecuali golongan Najdat dari khowarij”.[45] Perhatikan bagaimana umat ini sepakat bahwa imam itu diangkat untuk menegakkan hukum-hukum Islam dan mengatur masyarakat dengan hukum Islam.
Abdul Qahir al-Baghdadi menulis, “bahwasannya kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menerapkan hukum-hukum mereka menegakkan hudud mereka, mengerahkan pasukan mereka, menikahkan mereka yang tidak punya wali serta mendistribusikan fai’ di antara mereka.”[46]
Ibnu Jama’ah berkata, “Wajib hukumnya mengangkat imam yang bertugas untuk menjaga agama dan mengurusi kepentingan kaum muslimin, mencegah perbuatan orang-orang yang melampaui batas, memberi keadilan kepada orang-orang yang terdzalimi, mengambil hak-hak dari tempat-tempatnya dan meletakkannya ditempatnya pula, baik dalam pengumpulannya maupun pengalokasiannya.”[47]
An Nasafi menyatakan: “Kaum muslimin harus memiliki imam yang bertugas untuk menerapkan hukum-hukum mereka, menegakkan aturan hudud mereka, menjaga perbatasan mereka, mengerahkan bala-tentara mereka, mengambil zakat mereka, menundukkan para perampas, pencuri dan pembegal jalanan, melaksanakan shalat jum’at dan hari-hari raya, menyelesaikan persengketaan dan perkelahian di antara manusia, menerima persaksian demi menegakkan hak, menikahkan orang yang tidak punya wali, membagikan ghonimah serta perkara-perkara semisal yang tidak bisa ditangani oleh perorangan”.[48]
An Nawawi menyatakan, “Umat harus memiliki seorang imam yang menegakkan agama, membela sunnah, memberi keadilan kepada orang yang terdzalimi, mengambil hak-hak (harta) kemudian meletakkannya di tempat yang benar”.[49] Sekali lagi, di sini terdapat penekanan terhadap tugas menegakkan hukum Islam.
Ibnu Hajar al-Haitsami menyatakan: “Salah satu aspek yang menunjukkan perintah wajibnya imamah adalah bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk menegakkan hudud, menjaga perbatasan, menyiapkan pasukkan untuk berjihad serta menjaga wilayah kekuasaan Islam.”[50] Sementara itu at-Taftazani menyatakan: “bahwasannya terdapat kewajiban yang tidak bisa disempurnakan tanpa imamah itu, seperti menegakkan sanksi hudud, mengamankan perbatasan, dan semisalnya yang terkait dengan penjagaan sistem.”[51] Dalam dua kutipan terakhir ini, tugas untuk menerapkan hukum Islam bukan hanya menjadi kewajiban imam, bahkan menjadi alasan yang membuatnya menjadi wajib.
Bahkan al-Juwaini menyebutkan tugas yang sangat unik, yakni “menegakkan dakwah dengan hujjah dan pedang”. Ungkapan ini sebenarnya senada dengan ungkapan an-Nasafi dan al-Haitsami, ” menyiapkan pasukkan untuk berjihad”, begitu juga dengan ungkapan al-Baghdadi, “mengerahkan pasukan mereka”. sebab “jihad thalabi” hanya dibenarkan jika dilakukan untuk kepentingan penyebaran islam.[52] Al-Qurthubi dalam tafsirnya (at-Taubah ayat 41) menyatakan: “fardhu pula bagi al-imam untuk mengerahkan pasukan menuju musuh setiap tahun sekali. Dia bisa ikut bersama mereka atau mengirim orang yang dia percaya untuk menyeru musuh kepada Islam menarik hati mereka, menyingkirkan penghalang-penghalang mereka, memenangkan agama Allah atas mereka, sampai mereka mau masuk ke dalam islam atau membayar jizyah dengan tangan mereka”.[53] Tugas ini memberi gambaran kepada kita tentang karakter politik luar negeri yang dijalankan oleh Imam, yakni menjadikan negara sebagai pengemban misi dakwah islam melalui penyampaian hujjah dan pelaksanaan jihad.[54]
Inilah yang menjadi tugas imamah. Semua contoh tugas tadi menurut kami dapat diperas menjadi dua, yakni: menerapkan hukum islam di dalam negara dan menyebarkan islam ke seluruh penjuru bumi melalui dakwah dan jihad.

Tugas Khilafah

Adapun terkait dengan tugas khilafah, maka Syah Waliyullah ad-Dahlawi mengatakan, “Ketauhilah bahwa wajib bagi jama’ah kaum muslimin untuk memiliki seorang kholifah, untuk merealisasikan kemaslahatan yang tidak mungkin dapat sempurna kecuali dengan keberadaannya. Kemaslahatan tersebut banyak sekali, akan tetapi bisa dikategorikan menjadi dua jenis. Yang pertama: kemaslahatan yang kembali kepada pengaturan kepentingan kemasyarakatan, seperti menahan bala pasukan yang hendak memerangi dan mengalahkan mereka, mencegah kedzaliman, memecahkan persengketaan, dan lain-lain… Yang kedua: yang kembali kepada agama (millah). Contohnya melindungi agama Islam dari seluruh agama yang ada, hal itu tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan adanya seorang khalifah di tengah-tengah umat islam yang akan memberikan pengingkaran yang keras terhadap orang-orang yang keluar dari agama, melakukan perkara yang telah dinashkan keharamannya atau meninggalkan hal-hal yang telah dinashkan kewajibannya. Menundukkan seluruh pemeluk agama selain islam, mengambil jizyah dari tangan mereka sedang mereka dalam keadaan kecil (tunduk -pent),…[55]
Sa’id hawa menyatakan[56]: dan sistem khilafah ini berbeda dengan sistem pemerintahan manapun di dunia. Meskipun terdapat beberapa bagiannya yang menyerupai bagian sistem-sistem yang lain, akan tetapi, secara keseluruhan, di antara keduanya terdapat perbedaan yang substansial… Sistem khilafah hakekatnya merupakan wakil dari kenabian. Maka dari itu, urgensi khalifah adalah mewarisi tugas-tugas kenabian[57] dalam hal penegakkan hukum-hukumnya, sebagai contoh:
  1. Allah Ta’ala telah menyebutkan pentingnya Rasul saw. (sebagaimana kami telah mengutus seorang rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat kami kepada kalian, mensucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian kitab dan hikmah [T.Q.S. Al-Baqarah ayat 151]) maka tugas khalifah adalah mengajarkan kitab dan sunnah kepada masyarakat dan mendidi masyarakat berdasarkan keduanya.
  2. Allah Azza wa Jalla menyatakan (dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan ketundukkan (ad-din) itu sepenuhnya bagi Allah[T.Q.S. Al-Anfal ayat 39]), dengan demikian, tugas para rasul adalah menundukkan umat manusia kepada kekuasaan Allah, sementara urgensi peran para khalifah adalah menyempurnakan usaha Rasul saw dalam hal tersebut sesuai kemampuan yang dimiliki.
  3. Tugas rasul adalah: menegakkan keadilan dan menerapkan hukum Allah: (telah diwajibkan atas kalian qishash [T.Q.S. Al-Baqarah ayat 178]), (sebuah surat yang kami turunkan dan kami wajibkan [T.Q.S. An-Nur ayat 1]) maka tugas para khalifah pun demikian pula. Ringkasnya, sistem khilafah merupakan pengganti kenabian dalam menegakkan syariat Allah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata, “dan khilafah itu adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, dengan afkar yang dibawa oleh Islam dan hukum-hukum yang disyariatkan oleh Islam, serta untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan mengenalkan Islam kepada mereka dan menyeru mereka kepada Islam, serta dengan jihad fi sabilillah.”[58]
Kesimpulan
Dari kutipan-kutipan di atas, ada dua hal yang bisa ditarik: satu, kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa imamah itu bukan sekedar kepemimpinan negara secara mutlak, imamah adalah kepemimpinan dengan pengertian khusus, yaitu kepemimpinan dirancang untuk menjalankan fungsi penerapkan dan penyebaran islam. Misi sebagai institusi penegak syariah islam ini sangat esensial dalam imamah. Dengan demikian, negara yang tidak dirancang untuk menjalankan urusan pemerintahannya dengan islam, tidak dirancang untuk menerapkan Islam dan menjaganya, serta tidak dirancang untuk menebarkan Islam lewat penyampaian hujjah dan jihad, maka ia tidak bisa dianggap sebagai imamah yang sah dalam Islam.
Yang kedua, ditinjau dari fungsinya, ternyata imamah sama dengan khilafah, yakni menegakkan hukum-hukum agama Allah, menyebarkannya dan mengelola urusan dunia dengan syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa kedua istilah tersebut sebenarnya merujuk kepada satu konsep, artinya, khilafah adalah imamah dan imamah adalah khilafah.

4. Tinjauan dari segi cara penggunaan kata imamah dan khilafah oleh para ulama

Telah coba kami buktikan sebelumnya bahwa, sebagai istilah yang digunakan oleh para mutakallimin dan fuqaha, khilafah itu semakna dengan imamah sementara khalifah itu semakna dengan imam dalam konteks yang mereka bicarakan. Satu hal yang menambah keyakinan kami akan hal tersebut adalah kenyataan bahwa dua istilah ini seringkali dipakai oleh para ulama secara bergantian seolah keduanya bisa saling menggantikan begitu saja. Sebagai contoh kami kutipkan beberapa teks berikut:
Dalam kitab al-fiqhul akbar disebutkan bahwa Asy-Syafi’i menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa imam yang haq setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar ra, dalilnya adalah ijma’ shohabat terhadap imamah beliau dan kepatuhan mereka kepada beliau, serta kesepakatan mereka mengenai khilafah dalam percakapan mereka, sehingga secara ijma’ mereka memanggil (Abu Bakar) “wahai Khalifah Rasulullah”.[59] Perhatikan bagaimana imam atau pemangku imamah yang pertama, Abu Bakar ra, di sini disebut dengan gelar khalifah dan imamahnya disebut khilafah.
Al-Mawardi menyatakan: “Adapun pengangkatannya melalui pemilihan ahlul halli wal ‘aqd maka dalam hal ini para ulama berselisih mengenai jumlah minimal orang yang akad imamah mereka bisa dianggap sah kedalam beberapa pendapat yang berbeda. Sebagian dari mereka mengatakan: akad tidak sah kecuali dilaksanakan oleh mayoritas ahlul halli dari seluruh negeri agar kerelaan terhadap akad tersebut terwujud secara umum dan penerimaan terhadap imamahnya dapat disepakati. Pendapat ini tertolak oleh sejarah pembaiatan Abu Bakar ra atas khilafah yang terwujud dengan pemilihan sekelompok orang yang menghadirinya saja tanpa menunggu orang-orang yang tidak menghadirinya”.[60] Perhatikan bagaimana Al-Mawardi sering mengganti imamah dengan khilafah. Penggunaan istilah yang tidak konsisten ini terjadi di banyak tempat dalam al-Ahkamus Sulthaniyah.
Al-Juwaini berkata: “Seandainya pemberi wasiat berkata: “imam setelahku adalah fulan, kemudian imamah setelahnya adalah untuk fulan, kemudian imamah setelahnya adalah untuk fulan” maka dengan demikian khilafah diurutkan untuk orang-orang tertentu tersebut yang telah dilimpahi imamah pasca kematiannya”.[61] Terlepas dari pro/kontra metode pewarisan imamah, yang jelas, al-Juwaini dalam kutipan di atas telah menggunakan imamah dan khilafah secara bergantian dengan maksud yang sama.
Al-Qalqasyandi berkata: “Pembahasan tentang cara yang digunakan untuk menyempurnakan akad khilafah. Dalam hal ini terdapat tiga cara. … Cara yang pertama adalah bai’at, ini dilakukan dengan berkumpulnya ahlul halli wal ‘aqdi yang ia dipilih kemudian mereka mengakadkan imamah kepada orang yang memenuhi persyaratannya”.[62]
Ar-Razi mengatakan, “Bahwa imam yang haq (sah) setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar,… Dalil yang mendukung kebenaran pendapat kami ada beberapa segi. Pertama: telah terbukti secara mutawatir bahwa Ali ra tidak memerangi Abu Bakar demi menuntut khilafah. Seandainya benar imamah Abu Bakar itu tidak sah niscaya Ali akan memeranginya sebagaimana beliau memerangi Mu’awiyah ketika Mu’awiyah mengincar khilafah.”[63]
Kesimpulan
Kenyataannya kita dapat menemukan para ulama yang menggunakan istilah imamah dan khilafah secara bergantian atau saling menggantikan. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali jika mereka menganggap bahwa istilah khilafah memuat konsep yang sama dengan istilah imamah.

5. Dari segi tokoh sejarah yang mendapat gelar imam dan khalifah

Pernyataan Ulama Tentang Imam setelah Rasulullah saw

Para ulama suni menyatakan bahwa imam yang memangku imamah setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
Al-Baqilani dalam al-Inshaf menyatakan: “wajib untuk diketahui bahwa imam kaum muslimin dan amirul mu’minin yang lebih utama dari seluruh makhluq dari kalangan Anshar dan Muhajirin setelah para nabi dan rasul adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.”.[64]
Ar-Razi menunturkan, “Bahwa imam yang haq (sah) setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar, kemudian Umar kemudian ‘Utsman kemudian Ali”.[65]
Al-Baidhawi menyatakan, “Bahwa imam yang haq (sah) setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar, kemudian Umar kemudian ‘Utsman kemudian Ali”.[66]

Pernyataan Ulama Tentang Khalifah setelah Rasulullah saw

Namun, para ulama juga menyatakan bahwa para khalifah setelah rasulullah saw wafat adalah Abu Bakar kemudian Umar lalu ‘Utsman dan kemudian Ali.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq adalah Khalifah Nabi saw setelah kewafatan beliau dalam urusan menerapkan hukum, mencegah kadzaliman orang-orang dzalim, memberi keadilan kepada orang yang terdzalimi dan penyampaian hukum, bukan dalam hal menerima risalah, dan beliau adalah khalifah yang haq/sah.[67]
At-Taftazani menyatakan, “Khilafah setelah Rasulullah saw dipegang oleh Abu Bakar kemudian Umar setelah itu ‘Utsman lalu Ali –ra-”.[68]
Abdul Hayyi al-Kattani menyatakan, “Khalifah pertama yang diangkat dengan benar dan menurut bentuknya yang benar di dunia ini adalah khalifah Abu Bakar ra.”.[69]
Kesimpulan
Dari kutipan tersebut kita bisa menilai bahwa tokoh sejarah yang disebut oleh ulama sebagai imam itu ternyata sama dengan tokoh yang mereka sebut dengan gelar khalifah. Itu artinya imam adalah khalifah dan khalifah itu adalah imam itu sendiri.

6. Dari sisi pernyataan para ulama bahwa Imamah dan Khilafah atau imam dan khalifah adalah sinonim

Banyak sekali ulama yang menyatakan bahwa imamah dan khilafah atau imam dan khalifah itu sinonim alias merujuk pada satu konsep yang sama. Kami sebutkan beberapa saja di antara mereka.
An-Nawawi berkata, “boleh memanggil imam dengan sebutan: khalifah, imam dan amirul mu’minin“.[70]
An Nasafi menyatakan, “maka kita tidak boleh melewatkan satu hari sementara tidak “melihat” keberadaan seorang imam yang memimpin kita, dan dia adalah seorang khalifah“.[71]
Ibnu Khaldun menulis, “Kami telah menjelaskan hakekat dari lembaga ini, bahwasannya ia adalah wakil dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengurusi dunia dengan agama tersebut, dinamakan khilafah atau imamah, dan orang yang menjabatnya disebut khalifah atau imam. Adapun alasan kenapa dinamakan imam, itu karena ia menyerupai imam dalam sholat, dalam hal diikuti dan dicontoh, oleh karena itu, disebut juga  al-imamah al-kubro. Adapun alasan penamaannya dengan khalifah, maka itu karena posisinya sebagai pengganti Nabi bagi umatnya. Maka dikatakan: khalifah (pengganti) begitu saja atau kholifatu Rasulillah (pengganti Rasulullah)”.[72]
Dalam kitab Bada’i'us Suluk dinyatakan, “mengenai hakekat khilafah. Masalah pertama yang diketengahkan adalah pembahasan yang menunjukkan bahwa apa yang dimaksud dengan khilafah dan imamah adalah kembali kepada konsep perwakilan asy-Syari’ dalam menjaga agama dan mengurusi urusan dunia,…, dan yang mereka maksudkan ketika menyebut kata imamah sesungguhnya adalah khilafah“.[73]
Rasyid Ridha menyatakan: al-khilafah, al-imamah al-’udhma dan imaratul mu’minin adalah tiga kata yang memiliki satu makna”.[74]
Abdul Wahhab Khalaf menyatakan, “al-Imamah al-kubra, al-khilafah dan imaratul mu’minin merupakan kata-kata yang bersinonim merujuk kepada makna yang sama. Ulama menggambarkannya sebagai kepemimpinan umum dalam agama dan dunia, pilarnya adalah kemaslahatan dan pengaturan urusan ummat, menjaga agama dan pengurusan masalah dunia”.[75]
Abdul Hayyi al-Kattani mengatakan, “Orang yang mendudukinya disebut khalifah, karena dia menjadi pengganti Rasulullah saw, dan disebut juga sebagai imam dikarenakan kepemimpinan sholat dan pelaksanaan khutbah melekat kepadanya baik pada masa Rasulullah saw. maupun masa al-khulafa’ur rasyidin, orang lain tidak berhak melaksanakannya kecuali dalam kapasitas sebagai wakilnya. Dan ia juga disebut dengan amirul mu’minin”[76]
Dr. Abdul Qadir ‘Audah menyatakan, “al-imamah atau al-khilafah –sebagai mana pendapat para fuqaha’- merupakan akad yang tidak dianggap sah kecuali atas dasar kerelaan dan pilihan”[77]
Prof. Abu Zahroh menulis, “Madzhab-madzhab politik semuanya berporos pada masalah khilafah, yaitu al-imamah al-kubra. Dinamakan khilafah karena orang yang menduduki jabatannya bertindak sebagai penguasa tertinggi bagi kaum muslimin, menggantikan Nabi saw dalam masalah mengatur urusan kaum muslimin. Dinamakan juga sebagai al-Imamah karena khalifah pada waktu lalu disebut imam, dikarenakan taat kepadanya adalah wajib, karena orang-orang berjalan di belakangnya layaknya mereka mengerjakan shalat dibelakang orang yang mengimami mereka dalam shalat tersebut”.[78]
Prof. Wahbah az-Zuhaili menyatakan, “Al-imamah al ‘udhma, khilafah atau imarotul mu’minin semuanya memerankan arti yang sama dan menunjukkan pengertian sebuah fungsi yaitu kekuasaan pemerintahan tertinggi.”[79]
Dr. Dhiya’uddin Rais berkata: “Dengan demikian, inilah ketiga gelar yang digunakan untuk menyebut kepala negara dalam islam. Sekalipun setiap gelar berbeda dalam hal sebab kemunculan dan latar belakang yang menghubungkannya namun, pada akhirnya, semuanya menunjuk kepada orang yang sama dan mengindikasikan makna yang sama pula, serta menunjuk kepada orang yang duduk pada jabatan tertentu. Tidak ada salahnya, umpamanya, Al-Ma’mun mengukir nama “al-imam” di atas uang dirham yang dia keluarkannya dan pada saat yang sama dia disapa dengan “amirul mu’minin” dan dipanggil dengan panggilan “khalifah“.[80]
Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan, “dan khilafah disebut juga sebagai al-imamah dan imaratul mu’minin”.[81]

7. Aspek Sejarah Penggunaan Gelar Imam dan Khalifah

Dalam poin-poin sebelumnya telah jelas bahwa yang digelari al-imam dan al-khalifah itu sama, yakni amirul mu’minin atau dalam bahawa al-Kattani adalah pemimpin umat Islam yang tertinggi. Secara etimologis, kedua istilah ini memang memiliki kaitan erat dengan pemimpin umat yang bertugas melindungi Islam dan mengurus urusan dunia dengan islam itu.
Gelar yang dahulu populer adalah khalifah, kepemimpinannya disebut khilafah. Dinamakan demikian –sebagaimana penjelasan Ibnu Khaldun di depan- karena secara etimologis, khalifah adalah pengganti, dan dia adalah pengganti kedudukan Nabi saw dalam memimpin umatnya. Gelar ini telah disebut oleh Nabi saw dalam beberapa hadits, seperti “sayakunu khulafa’u fa yaktsuruun” (dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak) (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan gelar yang kedua, yakni al-Imam, lebih populer belakangan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khaaldun, pemimpin umat Islam dinamakan al-imam karena ia merupakan orang yang memimpin dan wajib ditaati oleh seluruh umat, seperti halnya orang yang mengimami kaumnya dalam shalat. Gelar ini pernah diucapkan oleh Nabi saw dalam beberapa hadits, contohnya, “man baya’a imaman fa-a’thahu shafqata yadihi” (barang siapa membai’at seorang imam maka hendaklah ia memberikannya uluran tangannya) (HR.Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad )
Kami katakan bahwa penggunaan gelar khalifah lebih awal populer sebelum gelar imam. Karena sejak awal, Abu Bakar dipanggil dengan gelar khalifah. Al-Qalqasyandi menyatakan: “Sudah menjadi tradisi yang tersiar sejak awal masa Islam (maksudnya era shohabat –pent) dan berlanjut terus setelahnya, penyebutan nama khalifah diperuntukkan bagi setiap orang yang memegang pemerintahan kaum muslimin”.[82]
Terkait dengan gelar imam, al-Qalqasyandi menyatakan: “Ini adalah gelar yang baru disematkan kepada para khalifah pada masa Daulah Abbasiyah di Irak. Asal dari gelar ini adalah bahwasannya kaum Syi’ah menyebut orang yang menduduki jabatan mereka (khalifah) dengan sebutan imam. Ditinjau juga dari segi bahwa kata imam dalam Bahasa Arab maknanya adalah orang yang diikuti/dicontoh. Sementara, mereka (Syi’ah) adalah orang-orang yang mencontoh/mengikuti imam-imam mereka, mereka (syi’ah) mencontoh (para imam) baik dalam perkataan-perkataan mereka maupun perbuatan-perbuatan mereka, karena menurut keyakinan mereka imam-imam itu ma’shum. Dan adalah Ibrahim bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas menggelari dirinya dengan sebutan al-Imam ketika dia mengambil bai’at untuk khilafah. Ini menjadi tradisi yang berlanjut pada para kholifah Bani ‘Abbas sampai hari ini”.[83]
Adapun mengenai bahwa gelar imam yang dikatakan lebih banyak berasal dari tradisi syi’ah, maka menurut beberapa peneliti, hal itu karena mereka membedakan antara imam dan khalifah. Menurut mereka imam, yang diangkat oleh Allah itu adalah orang ma’shum dan merupakan satu-satunya manusia pilihan Allah di masanya yang berhak menjadi khalifah. Hanya saja, adakalanya imam ini benar-benar menjadi khalifah, seperti Ali ra, namun adakalanya ia tidak berhasil menjadi khalifah, seperti Husain ra.. Kemudian mereka menjadikan isu imamah ini sebagai rukun aqidah.
Sementara di sisi lain, pihak Ahlus Sunnah berpendapat bahwa Allah tidak mengangkat/menunjuk khalifah, menurut mereka khalifah diangkat oleh umat Islam. Ahlus Sunnah tidak menjadikan kewajiban mengangkat khalifah ini sebagai bagian dari aqidah. Maka munculah perdebatan di antara mereka seputar: apakah mengangkat imam itu tugas Allah ataukah tugas manusia? apakah imam harus ma’shum? imam yang haq setelah Nabi saw itu apakah Abu Bakar, Ali ataukah Abbas? apakah imam harus dari keturunan Ali dan Fathimah ra? apakah imam harus ada ditengah umat secara dhahir atau boleh ghaib? apakah boleh mengangkat imam yang kurang utama sementara ada orang yang lebih utama? dll. Dari sinilah istilah imamah menjadi populer sebagai suatu isu dalam perdebatan antar firqah. Ia menjadi bahasan tersendiri dalam kitab-kitab ilmu kalam baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah.[84]

Kesimpulan Umum Mengenai Imamah dan Khilafah

Berdasarkan telaah kami di atas, maka kami sangat percaya bahwa yang dimaksud oleh para ulama dengan istilah imamah adalah khilafah itu sendiri. Dalam konteks bab Imamah yang ada berbagai kitab, kata imamah di sana tidak boleh diartikan secara etimologis, sebab secara konvensional para ulama telah menggunakan kata tersebut sebagai istilah dengan pengertian khusus, yakni khalifah. Bahkan, menurut Asy-Syaukani, istilah tersebut telah digunakan oleh Rasulullah saw.. Asy-Syaukani tatkala menjelaskan hadits “ a’immatu min Quraisy “, menyatakan, “makna imamah -sebagai istilah syar’i- semakna dengan khilafah,.. dan yang dimaksud dengan imamah di sini bukanlah makna lughawi (etimologis) yang mencakup setiap orang yang diikuti dan dicontoh oleh manusia terlepas dari bagaimana pun sifatnya”.[85]
Oleh karenanya,pernyataan al-Ghazali bahwa, “kewajiban mengangkat imam (nashbul imam) merupakan urgensi yang dituntut oleh syara’ yang tidak ada celah untuk mengabaikannya, maka ketahuilah hal tersebut”[86] itu tidak memiliki makna yang berbeda dengan perkataan ad-Dahlawi, “Ketauhilah bahwa wajib bagi jama’ah kaum muslimin untuk memiliki seorang kholifah”[87]. Dan pernyataan adz-Dzahabi bahwa, “ahlus sunnah, mu’tazilah, khawarij dan syi’ah telah menyepakati kewajiban imamah dan bahwa wajib bagi ummat untuk tunduk kepada seorang imam yang adil”[88] tidak berbeda makna dengan perkataan al-‘aini, “mereka sepakat bahwa wajib untuk mengangkat seorang khalifah (nashbu khalifatin) dan bahwasannya kewajiban itu ditetapkan oleh syara’”[89]. Maka, tidak heran jika Al-Khabazi menyatakan, “Imamah dan khilafah setelah Rasulullah saw adalah haq (kewaijban -pent) berdasarkan Kitab, Sunnah, Ijma’ dan ma’qul”.[90]
Dengan demikian, memberi keterangan (khalifah) di belakang kata imam, atau (khilafah) di belakang kata imamah merupakan langkah tepat guna menghindari kesalah-pahaman dengan memaknai kedua istilah tersebut secara lughawi semata. Apalagi kebanyakan umat Islam hari ini telah terasing dari warisan tsaqafah mereka. Maka jelas, penambahan keterangan ini bukan usaha untuk mendistorsi makna, tapi justru usaha untuk memelihara pengertian istilahnya.
Sebaliknya, mereka yang mendakwakan bahwa imamah itu bukan khilafah, maka kemungkinannya ada dua, pertama: tidak berusaha memahai penggunaan istilah tersebut secara seksama di dalam kitab-kitab para ulama sehingga mereka tidak tahu kalau yang mereka maksud dengan imamah itu sebenarnya adalah khilafah, atau mungkin yang kedua: sengaja melakukan distorsi makna, untuk menggiring persepsi umat, agar mereka tidak memahami kewajiban khilafah dari pernyataan para ulama tentang kewajiban nashbul imam dan imamah. Tapi bisa saja ada kemungkinan yang lain. Wallahu a’lam. (titok priastomo, Jogja, 30 Okt 2012)

Sistem Ekonomi Islam

Pengertian Sistem Ekonomi Islam
              Menurut West Churchman, sistem adalah serangkaian komponen yang dikoordinasikan untuk mencapai serangkaian tujuan. Dengan demikian sebuah sistem memiliki tiga karakteristik, yaitu komponen, proses, dan tujuan. Namun begitu, hal yang paling utama untuk diperhatikan adalah komponennya itu sendiri. Sebab proses dan tujuan hanya sebagai pelengkap dari sebuah sistem.[i]


Sistem ekonomi Kapitalisme dan sistem ekonomi Sosialisme tidak dapat bersatu dan bahkan saling bersaing di dunia untuk saling mengalahkan, disebabkan oleh perbedaan komponen dan sumber komponennya. Dengan demikian untuk melihat bentuk sistem ekonomi Islam tidak lain kecuali dengan melihat dari komponen dan sumber komponennya.

Apabila melihat kembali pengertian ekonomi Islam diatas yang mengartikan pengaturan urusan harta dari sudut pandang Islam, maka dapat terlihat komponen dari sistem ekonomi Islam. Yaitu komponennya adalah hukum (syariah) dan sumber komponennya adalah berasal dari Islam. Dengan demikian sistem ekonomi Islam dapat diambil suatu pengertian darinya sebagai hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan pengaturan urusan harta.[ii]

Namun begitu suatu bentuk sistem ekonomi biasanya diperbandingkan melalui hal yang paling mendasar, yaitu masalah pokok ekonomi. Adapun masalah pokok ekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik adalah masalah sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi.

Inti pembahasan dari masalah produksi, distribusi dan konsumsi sebenarnya adalah pembahasan masalah fundamental perekonomian yang dihadapi setiap masyarakat. Adapun masalah fundamental perekonomian yang dihadapi masyarakat adalah pertanyaan terhadap barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seperti pertanyaan barang dan jasa apa yang akan diproduksi (what), siapa yang berhak menjadi pelaku produksi (who), bagaimana cara proses produksi tersebut dilakukan (how), dan untuk siapa barang dan jasa hasil produksi tersebut (for whom).[iii]

Untuk memudahkan dalam melihat bentuk sistem ekonomi Islam, maka inti pertanyaan terhadap barang dan jasa sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia tersebut dapat disederhanakan dengan tiga komponen, yaitu konsep kepemilikan (al-milkiyah), konsep pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fil milkiyah) dan konsep distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat (tauzi’u tsarwah baina an-nas).  

Dengan digambarkannya sistem ekonomi dengan tiga bagian tersebut (kepemilikan, pemanfaaatan dan distribusi) maka kita akan dengan mudah melihat sistem ekonomi Islam secara global. Sekaligus dapat pula dengan gamblang saat membedakannya dengan sistem ekonomi lainnya. Sebab letak perbedaan antara satu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya terletak pada tiga poin tersebut, yaitu jenis-jenis kepemilikan terhadap harta, cara memanfaatkan harta dan cara membagikan harta tersebut kepada masyarakat.

Dalam ekonomi Islam konsep kepemilikan terbagi tiga, yaitu:
a.       Kepemilikan Individu (milkiyatu fardiyah)
b.      Kepemilikan umum (milkiyatu ‘ammah)
c.       Kepemilikan Negara (milkiyatu daulah)

Artinya harta-harta kekayaan tertentu hanya boleh dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan jenis kepemilikannya. Seperti harta yang termasuk dalam jenis kepemillikan umum, harta tersebut hanya boleh dimiliki oleh umum (masyarakat), dan tidak dibolehkan apabila sampai dimiliki oleh individu maupun negara.

Sebagaimana tersirat dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan imam Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia (Abyadh bin Hamal) telah meminta kepada Rasulullah Saw agar diperbolehkan untuk memiliki dan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah Saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut bertanya, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah Saw kemudian menarik kembali pemberian tambang tersebut darinya (dari Abyadh bin Hamal). Maksud dari ‘bagaikan air yang mengalir’ adalah sesuatu yang melimpah, sehingga Rasulullah pun mengambil alih kembali tambang tersebut, oleh sebab barang tambang yang melimpah di alam status kepemilikannya adalah milik umum (masyarakat) bukan individu.

Demikian juga sebaliknya, harta individu tidak dibolehkan untuk dimilliki oleh umum kecuali dengan jalan yang dibenarkan menurut syara’. Demikian juga dengan harta yang berjenis kepemilikan negara, juga memiliki konsekuensi yang sama dengan sebelumnya, tidak dapat menjadi milik individu ataupun umum kecuali dengan jalan yang dibenarkan menurut syara’.

Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap konsep kepemilikan (al-milkiyah), bahwa kepemilikan adalah izin dari syari’ (Allah Swt) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu harta benda.[iv]

Adapun pemanfaatan kepemilikan terhadap harta dalam ekonomi Islam disandarkan pada asas halal-haram dalam hukum yang lima (ahkamul khamsah) yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Sedangkan golongan pemanfaatannya terbagi menjadi dua, yaitu dengan pembelanjaan harta (infaqul maal) dan dengan pengembangan harta (tanmiyatul maal). Pembelanjaan harta yaitu seperti nafkah, hadiah, zakat, shodaqoh dan lain sebagainya yang memiliki sifat konsumtif. Adapun pengembangan harta adalah dengan niat menjadikan harta tersebut bertambah, yaitu seperti berdagang (tijarah), bertani (zara’ah), industry (shina’ah) dan lain sebagainya, semuanya harus mengikuti hukum Islam mengenai perkara tersebut.

Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap konsep pemanfaatan kepemilikan (tasyarruf fil milkiyah), bahwa pemanfaatan kepemilikan adalah tata cara yang wajib dilaksanakan seorang muslim pada saat menggunakan harta benda.[v]

Sedangkan dalam masalah pendistribusian harta kepada masyarakat, konsep ekonomi Islam memiliki dua metode. Yaitu metode ekonomi dan metode non ekonomi. Metode ekonomi adalah metode yang berjalan secara alamiah. Metode ekonomi dapat berjalan melalui sebab-sebab kepemilikan harta individu, seperti bekerja. Juga dapat terjadi melalui akad-akad ekonomi yang terjadi diantara sesama masyarakat, seperti akad jual beli (bai’), mudharabah, sewa-menyewa (ijarah) dan lain sebagainnya. Adapun metode non ekonomi adalah cara yang dilakukan dimana pelaku yang bertindak sebagai distributor tunggal tidak lain adalah negara. Harta tersebut adalah zakat, sebab tuntutan syara’ mengenai ini adalah negara, dimana pemungutnya adalah Negara maka pendistribusiannya pun oleh negara. Sebagaimana dijelaskan dalam QS: at-Taubah 103:

Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.”

Perintah kata “ambillah” ditafsirkan sebagai perintah yang harus dilakukan negara kepada harta masyarakatnya yang tergolong sebagai muzakki. Namun demikian harta yang tergolong kekayaan dimana pendistribusiannya dilakukan oleh negara, bukan hanya zakat. Melainkan juga bisa berasal dari harta milik negara itu sendiri. Seperti saat negara ingin memberikan hartanya secara cuma-cuma kepada masyarakat. Atau negara juga bisa mendistribusikan harta dari jenis kepemilikan umum yang teknis pengelolaannya diserahkan kepada negara, seperti hasil dari pengeksplorasian barang tambang.
Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap distribusi kekayaan (tauzi’u tsarwah), bahwa distribusi kekayaan menurut ekonomi Islam adalah hukum-hukum syar’i yang ditetapkan untuk menjamin individu memperoleh harta benda.[vi]
Pembahasan diatas dapat digambarkan sebagai berikut:


Tabel 1.
Sistem Ekonomi Islam yang diperbandingkan
ASAS EKONOMI
SISTEM EKONOMI
ISLAM
SISTEM EKONOMI KAPITALISME
SISTEM EKONOMI SOSIALISME
Kepemilikan
Individu
Mobil, rumah, laptop, televisi, dsb.
Individu
Negara
Umum
Barang tambang, jalan, pulau dsb (tidak boleh dimiliki individu maupun negara)
Negara
Jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj, dharibah, dsb.
Pemanfaatan Kepemilikan
Berdasar asas Halal-Haram
Pembelanjaan Harta
Berdasar asas Manfaat (Utilitarianisme)
Berdasarkan asas manfaat (Dialektika materialisme)
Pengembangan Harta
Distribusi Kekayaan
Individu
Hukum Islam tentang bai’, mudharabah, ijarah dsb.
Individu (Mekanisme pasar) meminimalisir campur tangan negara
Negara
Negara
Non-Ekonomi


Pengertian Ilmu Ekonomi Islam
a.      Ilmu Ekonomi Islam
Ekonomi Islam memandang bahwa ilmu ekonomi adalah bagian dari kajian ekonomi yang hanya membahas masalah teknis dalam penerapan sistem ekonomi. Ilmu ekonomi lebih spesifik hanya membahas masalah tata cara dalam memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Seperti masalah bagaimana meningkatkan produksi beras yang biasanya hanya 0,8 ton beras per panen menjadi 1 ton beras per panen dengan luas sawah yang sama. Apakah dengan menggunakan pupuk dengan kualitas tinggi namun dengan biaya pupuk yang juga tinggi tetapi hasil yang akan melimpah, ataukah dengan pupuk kualitas sedang yang hanya memerlukan biaya sedang namun peningkatan produksi pun tidak seberapa.

Perkara seperti diuraikan diatas adalah perkara yang merupakan tata cara teknis (ilmu) yang sifatnya tidak berbeda apabila berada dalam suatu sistem ekonomi tertentu. Baik dalam sistem ekonomi Kapitalisme, Sosialisme atau bahkan Ekonomi Islam. Semua sistem ekonomi akan sama pendapatnya, yaitu memilih cara terbaik, efektif dan efisien dalam meningkatkan produksi berasnya, menguntungkan dan tidak merugikan.

Namun begitu, ekonomi Islam tidak menerima semua tata cara teknis tersebut diadopsi dalam ilmu ekonomi Islam. Ekonomi Islam hanya mengadopsi tata cara yang secara hukum Islam tidak bertentangan dengannya. Seperti dalam upayanya meningkatkan produksi beras namun menggunakan pupuk yang berasal dari benda najis, dimana sebagian ulama memberikan status haram dalam pemanfaatan benda najis. Sehingga tidak dibenarkan dan bahkan diharamkan apabila ingin meningkatkan produksi beras namun dengan menggunakan pupuk yang najis.

Dalam hal lain Nabi Saw pun menyampaikan dengan pernyataan: “kamu lebih mengetahui urusan duniamu”. Hadits ini sebagai jawaban atas masalah penyerbukan kurma yang tidak berhasil dilakukan oleh seorang muslim setelah meminta pendapat kepada baginda Rasulullah Saw. Hadits ini pun memberikan pesan pada kita bahwa dalam masalah teknis memproduksi barang dan jasa perkaranya diserahkan kepada manusia.

Dengan demikian ilmu ekonomi Islam dapat diberi pengertian sebagai pemikiran Islami yang berkaitan dengan pengaturan urusan harta.

b.      Teori dan Hukum Ekonomi Islam
Adapun mengenai sebuah teori-teori ekonomi yang biasa dikenal selama ini, maka perlu dilihat lebih teliti mengenai teori-teori tersebut. apakah teori tersebut merupakan teori yang mengungkapkan suatu fakta saja, ataukah teori ekonomi tersebut mengarah pada suatu praktek ekonomi dimana manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak.

Biasanya teori ekonomi yang hanya mengungkapkan suatu realitas perekonomian merupakan teori yang termasuk didalam ilmu ekonomi, dimana ilmu ekonomi adalah kajian yang tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi tertentu. Sehingga sistem ekonomi manapun dapat pula menggunakannya. Sedangkan teori-teori ekonomi yang mengarahkan manusia untuk melakukan suatu praktek perekonomian dimana manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak, biasanya teori tersebut adalah bagian inheren dari sistem ekonomi tertentu, dimana teori tersebut tidak akan berlaku apabila manusia hidup dalam sistem ekonomi yang berbeda dengannya.

Teori dan hukum permintaan, penawaran, teori keseimbangan (equilibrium), teori elastisitas, teori nilai, hukum Gossen dan teori semacamnya adalah contoh dari teori dan hukum ekonomi yang hanya mengungkapkan suatu realitas alamiah (sunnatullah) dalam bentuk kurva dan atau kalimat pernyataan. Sehingga apabila ada usaha untuk merubah realitas alamiah tersebut baik itu dilakukan oleh individu maupun pemerintah, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan kekacauan didalamnya dalam jangka waktu yang relatif dekat. Sebab hendak merubah aturan alam yang bersifat sunnatullah. Sehingga teori dan hukum ekonomi seperti ini tentu tidak terikat dengan suatu sistem ekonomi tertentu, apapun sistem ekonominya, baik Kapitalisme, Sosialisme maupun Islam akan dapat menggunakannya. Dengan demikian teori dan hukum ekonomi seperti ini juga dapat dikategorikan sebagai teori dan hukum ekonomi dalam ilmu ekonomi Islam, karena tidak bertentangan dengan hukum-hukum syara’.

Sedangkan teori dan hukum ekonomi seperti teori inflasi (irving Fisher), teori bunga uang (Keynes), teori law of capital accumulation (Smith), laissez faire laissez passer (Smith), teori sewa tanah (land rent) Ricardo, teori upah alami (Ricardo), teori nilai lebih (surplus value) Marx, teori populasi (Malthus), dan teori ekonomi semacamnya adalah teori yang tergolong sebagai teori yang terikat pada suatu sistem ekonomi tertentu. Keberadaanya tidak lain sebagai perpanjangan dari sistem ekonomi tertentu. Teori-teori seperti ini tentu tidak akan hidup dan berguna pada masyarakat yang menggunakan sistem ekonomi yang berbeda dengan sistem ekonomi asal teori tersebut ada.

Seperti teori Smith tentang laissez faire laissez passer yang berarti agar praktek dan masalah ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, sebisa mungkin pemerintah untuk tidak turut campur dalam masalah ekonomi, sebab masalah apapun yang muncul menurut teori tersebut akan dapat diselesaikan dengan invisible hand dalam mekanisme pasar.[vii] Tentu teori ini tidak akan berlaku dalam sistem ekonomi Sosialisme dimana faktor-faktor produksi tidak boleh diserahkan pada pasar, sehingga peran negara terhadap perekonomian dalam Sosialisme harus penuh, bukan justru diminimalisir. Demikian juga teori ini tidak dapat hidup dalam sistem ekonomi Islam, sebab hukum Islam terhadap mekanisme pasar tergantung pada siapa yang berhak memiliki faktor-faktor produksi tersebut. Hanya pada faktor-faktor produksi dengan jenis kepemilikan individu saja mekanisme pasar dalam ekonomi Islam bisa berlaku. Namun tidak demikian dalam faktor-faktor produksi yang berjenis kepemilikan umum/masyarakat, maka tidak ada mekanisme pasar didalamnya karena tidak dibolehkan individu dari masyarakat memilikinya. Dalam ekonomi Islam tidak semua faktor-faktor produksi boleh dimiliki individu sebagaimana Kapitalisme, juga tidak semua faktor-faktor produksi harus dimiliki oleh negara sebagaimana Sosialisme. Ekonomi Islam berbeda dengan yang lain.

Teori-teori tersebut tidak berlaku pada semua sistem ekonomi sebab teori-teori ekonomi tersebut adalah teori-teori ekonomi yang bukan untuk mengungkapkan suatu realitas alamiah semata, melainkan untuk mengarahkan manusia untuk mempraktekkan suatu aktivitas ekonomi dimana manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak.

Oleh karena itu teori dan hukum ekonomi Islam yang tergolong dalam sistem ekonomi Islam tidak lain adalah teori dan hukum-hukum yang sudah ada dan termaktub dalam al-Qur’an, Hadits Nabi saw, Ijma Shahabat dan Qiyas. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara ekonom muslim dalam masalah teori dan hukum pada sistem ekonomi Islam, maka yang berlaku adalah apa yang diadopsi oleh pemimpin dan penguasa masyarakat dimana sistem ekonomi Islam tersebut diterapkan. Sehingga perbedaan menjadi hilang karena keputusan amir. Sebagaimana tersebut dalam kaidah fiqih, “amrul imam yarfa’ul khilaf” yang berarti: keputusan imam menghilangkan perbedaan.

Sedangkan teori dan hukum ekonomi Islam yang tergolong dalam ilmu ekonomi Islam tidak harus berasal dari sumber-sumber hukum Islam, melainkan juga bisa berasal dari selain itu sepanjang tidak bertentangan dengannya.

3.      Ruang Lingkup Sistem dan Ilmu Ekonomi Islam
Arti dan perbedaan sistem ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi Islam telah diuraikan sebagaimana penjelasan diatas, namun demikian akan lebih mudah apabila dirangkumkan dalam bentuk yang lebih lugas sebagaimana berikut:

Table 2.
Perbedaan Sistem dan Ilmu Ekonomi Islam
Ruang Lingkup
Sistem Ekonomi Islam
Ilmu Ekonomi Islam

Cakupan
a.       Kepemilikan
b.      Pemanfaatan Kepemilikan
c.       Distribusi Kekayaan
Tata cara teknis memproduksi barang dan jasa

Karakter
Khas/Unik
(hanya untuk satu sistem Ekonomi)
Universal
(berlaku bagi semua sistem ekonomi)

Sumber
a.       al-Qur’an
b.      Hadits Nabi Saw.
c.       Ijma Shahabat
d.      dan Qiyas
Bisa berasal dari mana saja sepanjang tidak bertentangan dengan dengan sumber-sumber hukum Islam


[i] Krismiaji, Sistem Informasi Akuntansi, AMP Ykpn, Yogyakarta, 2002, hal. 1-2.
[ii] Op.cit, hal. 52.
[iii] Tim Abdi Guru (Wahyu Adji, Suwerli dan Suratno), Ekonomi SMA untuk SMA Kelas X, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 34-36.
[iv] Op.cit,, Taqyuddin an-Nabhani, hal. 67.
[v] Ibid. hal. 127.
[vi] Ibid., hal. 271.
[vii] Op.cit. Deliarnov, hal. 32

ARA SISTEM EKONOMI ISLAM DAN ILMU EKONOMI ISLAM