diarymuslim Intelektual Mahasiswa LDK FKUI KamPusKu

dakwah islam

Senin, 09 Juli 2012

Menjerat Kitab Suci

005. Budaya Korupsi Menjerat Kitab Suci

alquran dikorupsiHari gini, kejahatan korupsi kian santer mengisi ruang headline media massa dalam negeri. Pemberitaan ini makin menguatkan hasil survey Bribe Payer Index (BPI) 2011 Transparency International. Survey yang dilakukan terhadap 28 negara ini menunjukan hasil bahwa Indonesia menduduki negara ke empat terkorup. (Tribunnews.com, 11/04/11).
Predikat negara terkorup dan sarang koruptor udah lama disandang negeri kita. Nggak heran kalo baru-baru ini, lagi rame liputan media tentang kasus korupsi yang menjerat departemen agama. Kebayang nggak, udah jelas-jelas korupsi itu dilarang dalam ayat-ayat al-qur’an. Eh sekarang, Al-Quran-nya sendiri secara fisik juga ikut dikorupsi. Kebangetan deh!

Korupsi al-qur’an terjadi saat Kementrian Agama (Kemenag) mengadakan Al-Qur’an pada 2011 dengan anggaran Rp. 22,8 miliar dan tahun ini Rp. 110 miliar (www.tempo.co, 07/07/2012). Nah, dari proses pengadaan Al-Qur’an inilah diduga kuat ada tindak pidana korupsinya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ambil tindakan dan telah menetapkan dua tersangka, yakni Zulkarnaen Djabar (anggota Komisi Agama DPR) dan Dendy Prasetya (Direktur PT Karya Sinergi Alam Indonesia).  PT Karya Sinergi yang dipimpin Dendy Prasetya adalah yang memenangkan tender pengadaan Al-Qur’an (www.tribunnews.com, 04/07/2012), sedangkan Zulkarnaen Djabar dijerat atas tindak pidana suap. Usut punya usut, Dendy Prasetya ternyata putra sulung dari Zulkarnaen Djabar. Bapak dan anak sekongkol korupsi? Parah tenan!

Korupsi, Buah sistem Demokrasi

Korupsi di negeri ini sudah mendarah daging bin mengurat akar. Mulai dari pejabat tinggi sampe pejabat rendahan bareng-bareng melakukan korupsi (korupsi kok berjamaah?). Walhasil, Pada 2011 terdapat 436 kasus korupsi dengan potensi kerugian negara akibat korupsi ini adalah Rp2,169 triliun. Maka wajar jika negeri zamrud khatulistiwa ini kian dikenal sebagai negara terkorup ke-5 di dunia dan ke-1 di tingkat asia pasifik. (transparency.org).
Sahabat, kalo yang korupsi satu dua orang, bisa saja pemerintah berkelit itu kerjaan oknum alias human error. Tapi kalo yang korupsi udah ratusan orang dari berbagai tingkatan birokrasi, ini sih bukan oknum lagi ceritanya. Tapi udah masuk kategori system error alias kebobrokan sistem yang dipake buat ngatur urusan rakyat di negeri ini. Inilah buah sistem pemerintahan demokrasi yang dipuja puji oleh para petinggi ibu pertiwi
Kalo kita telusuri, ternyata setidaknya ada empat penyebab yang bikin budaya korupsi nggak mengenal kadaluarsa di negeri kita. Yaitu:
Pertama, lemahnya keimanan individu. Keimanan adalah pondasi seorang muslim dalam bertindak dan bertingkah-laku. Seseorang yang masih menjaga imannya, akan berbuat berdasarkan tolok ukur halal dan haram. Korupsi adalah perbuatan haram yang dalam Islam disamakan dengan perbuatan merampas hak milik orang lain. “Barang siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari umat Muhammad saw.)” (HR Thabrani dan al- Hakim). Adanya kata-kata laisa minna, bukan dari golongan kami, menunjukkan keharaman seluruh bentuk perampasan termasuk korupsi. Sayangnya, demokrasi abai dalam membentuk keimanan masyarakat apalagi individu birokratnya. Akibatnya, tindak pidana korupsi semakin tak terbendung. Banjir!
Kedua, birokrasi yang nggak transparan. Kondisi ini sangat rentan memancing penggelapan alias manipulasi uang negara. Lantaran masyarakat nggak tahu apa yang terjadi dibalik meja birokrasi. Masyarakat tahunya urusan mereka beres, meski birokrat harus menghalalkan berbagai cara. Birokrasi yang gak sehat semacam ini menjadi ‘ladang basah’ bagi koruptor. Di lingkungan eksekutif saja, hingga tahun 2012, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 173 kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) yang tersangkut berbagai kasus korupsi (www.republika.co.id, 23/4/2012). Akibatnya, kucuran dana negara untuk masyarakat gampang bocor di setiap meja. Turunnya seratus juta, nyampe ke rakyat tinggal nota!
Ketiga, lemahnya kontrol sosial masyarakat. Masyakarat ibarat ‘polisi’ yang seharusnya jeli ngawasin pemerintah biar kerjanya dalam ngurus rakyat bener. Sialnya, masyarakat sekarang banyak yang individualis dan bermental instan. Saat berurusan dengan aparat pemerintah, ada aja oknum masyarakat yang gak mau ngikutin prosedur. Pengennya ambil jalan pintas dengan suap. Walhasil, aparat yang boleh jadi awalnya berusaha jaga diri dan anti korupsi, ngiler juga disodorin segepok duit. Kejadian deh!
Empat, lemahnya penegakan hukum. Demokrasi dimana saja selalu dikuasai oleh segelintir orang. Terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Mereka tidak hanya menguasai jaringan politik dan bisnis, tetapi juga hukum yang bisa dibeli dengan mudah. Makanya, dalam sistem demokrasi di negeri ini nggak ada ceritanya seorang koruptor dihukum mati kaya di China. Yang ada malah diampuni, dikasih grasi, atau malah dibiarkan kasusnya hilang ditelan bumi. Akibatnya, para pejabat bukannya kapok bin ngeri jadi koruptor malah pengen nyicipin serunya jadi buruan KPK.
Sistem Islam Anti Korupsi
Islam punya aturan main yang tokcer bin jitu buat mengikis budaya korupsi. Berikut sejumlah langkah yang terdapat dalam sistem Islam untuk mengatasi budaya korupsi.
Pertama, larangan suap menyuap. Suap (rishwah) adalah perbuatan haram. Setiap muslim wajib meninggalkannya. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap(HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur(HR Imam Ahmad). Dalam hadits kedua bahkan dikatakan, hadiah seseorang kepada pemerintah adalah terlarang. Sebab, sangat dimungkinkan hadiah seseorang kepada aparatur pemerintah memiliki maksud-maksud tertentu. Dalam hukum, aparatur pemerintah akan cenderung memenangkan pihak yang memberikan hadiah dan suap.
Kedua, teladan pemimpin. Rakyat akan menjadikan pemimpinnya sebagai teladan seperti dicontohkan oleh para khalifah dalam sistem Islam. Abdullah bin Umar, pernah disita untanya yang gemuk oleh Khalifah Umar bin Khaththab, ayahnya sendiri. Sebabnya, unta milik Abdullah bin Umar digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Dalam pandangan Umar, ini adalah bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Ketiga, gaji yang layak. Rasul bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”. Islam menjamin kebutuhan hidup para aparatur pemerintah. Biar celah bagi birokrat untuk melakukan korupsi tertutup rapat. Sebab tak jarang, kejahatan korupsi dipicu dari himpitan ekonomi atau gaji yang tak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Keempat, pemeriksaan kekayaan. Pemeriksaan kekayaan aparat pemerintah dalam Islam dilakukan sebelum dan sesudah menjabat. Biar ketahuan apakah kekayaannya bertambah atau berkurang. Kalo bertambah, wajar nggak pertambahannya? Jangan sampai gaji 12 juta sebulan punya rumah seharga 1 Miliar. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, namu orang itu berkilah dengan mengatakan “Aku tidak bekerja padamu”. “Benar”, kata Umar. “Tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis!” jelas Umar. Apa yang dilakukan Umar adalah contoh gimana harta kekayaan para pejabat dihitung. Dari pemeriksaan tersebut akan tampak, mana harta yang didapat dari gaji dan mana yang didapat dari hasil korupsi. Bahkan Umar pernah mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai petugas khusus menangani hal tersebut.
Kelima, hukuman yang tegas dan setimpal. Seharusnya, hukum itu datang tidak hanya memberikan sanksi tapi juga harus menimbulkan efek jera seperti dalam sistem Islam. Dalam Islam, korupsi bukanlah termasuk kasus pencurian yang harus dipotong tangannya. Tapi ia adalah kasus perampasan harta dan merupakan bentuk kejahatan (jarimah) yang bisa dijatuhi ta’zir oleh khalifah. Ta’zir adalah jenis hukuman yang ditentukan oleh khalifah, bisa berupa kurungan atau bahkan hukuman mati. Tergantung dari seberapa berat kadar kejahatannya. Jika korupsi yang dilakukan sampe merugikan harta negara dalam jumlah yang sangat banyak, hukuman mati pantas diberikan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Keenam, pengawasan masyarakat. Islam membentuk masyarakatnya agar menjadikan halal dan haram sebagai tolok ukur perbuatan. Sehingga masyarakat sigap dalam mengawasi, mengkoreksi, dan melaporkan kalo ada penyimpangan.
Sahabat, budaya korupsi nggak akan pernah mati dalam sistem demokrasi. Malah bukan cuman al-quran yang dikorupsi. Tapi juga ayat-ayatnya juga ikut dimanipulasi. Sehingga masyarakat makin jauh dari Islam. Ngakunya muslim, tapi hidupnya ogah diatur pake syariah Islam. Patut dipertanyakan kemuslimannya.
Kalo kita masih berharap pada demokrasi untuk mencari solusi bagaikan punuk merindukan bulan. Justru demokrasi yang bikin budaya korupsi tetep lestari. Lantaran sistem demokrasi sukses membentuk pola pikir dan pola sikap masyarakat menjadi materialistik. Isi kepalanya cuman ada duit, doku, dan fulus. Hukum-hukum agama nggak boleh campur tangan dalam kehidupan. Dan manusia berlagak jagoan bikin aturan sendiri untuk beresin setiap masalah yang dihadapinya. Padahal hasilnya, aturan yang dihasilkan sistem sekular ini terbukti mandul dalam menghabisi tindak pidana korupsi yang sudah sistemik ini. Satu-satunya cara untuk membabat habis budaya korupsi adalah mengganti demokrasi dengan sistem sistem Islam dalam naungan negara Khilafah Islamiyah. Catet tuh! []

0 komentar:

Posting Komentar

komunikasiKu