diarymuslim Intelektual Mahasiswa LDK FKUI KamPusKu

dakwah islam

Rabu, 04 Juli 2012

Ekonomi Politik Negara Khilafah

Politik Ekonomi Negara Khilafah

Dalam sistem ekonomi kapitalis liberal, untuk mewujudkan kemak-muran rakyat, negara tidak perlu campur tangan terhadap perekonomian masyarakat. Hal tersebut antara lain tampak dari pendefinisian Politik Ekonomi. Dalam Kamus Ekonomi1 disebutkan: Political Economy is the science of wealth and deals with effort made by man to supply wants and satisfy desires (Politik Ekonomi adalah ilmu pengetahuan tentang kekayaan dan berhubungan dengan usaha-usaha yang dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan).
Definisi tersebut tidak menyebutkan peran negara sama sekali dan bukan sebagai sebuah kebijakan, namun sekadar ilmu. Dampak definisi tersebut adalah negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis kurang berperan (minim campur tangan) secara langsung untuk mensejahterakan orang-perorang rakyatnya. Inilah yang membedakan-nya dengan politik ekonomi Islam. Abdurrahman al-Maliki di dalam as-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ menjelas-kan bahwa Politik Ekonomi Islam merupakan Kebijakan yang diterapkan oleh Negara Khilafah untuk menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, orang-perorang, secara menyeluruh, serta menjamin kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka sesuai dengan kadar yang mampu diraih sebagai manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang khas, dengan corak dan gaya hidup yang unik.
Berdasarkan definisi tersebut, Politik Ekonomi Islam (PEI) merupakan kebijakan negara yang fokus pada kesejahteraan orang-perorang, bukan sekadar kesejahteraan negara secara agregat (makro) yang hanya tertulis dalam angka, namun kenyataannya ada saja kasus rakyat yang mati kelaparan. Di dalam PEI ada jaminan bagi setiap individu yang hidup di dalam Daulah Islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya. Negara mendorong dan mengkondisikan agar setiap laki-laki yang mempunyai kemampuan untuk berusaha dan bekerja meraih rezeki alias bisa memasuki mekanisme pasar. Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi di tengah-tengah masyarakat serta menjamin perwujudan nilai-nilai keutamaan dan keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya interaksi ekonomi.

Kebijakan Negara dalam Pemenuhan Kebutuhan Pokok
Dalam PEI negara menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok dan dasar rakyat, serta kesempatan terpenuhinya kebutuhan sekunder seluruh rakyat, orang per orang (tanpa memandang ras, suku dan agama) secara menyeluruh. Kebutuhan dasar rakyat itu meliputi kebutuhan pokok berupa sandang, papan dan pangan, serta kebutuhan dasar rakyat secara umum, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang2, pangan3 dan papan4, diberikan oleh negara dengan mekanisme tidak langsung. Sesuai ketentuan syariah Islam dalam hal ini, negara akan menempuh tiga strategi kebijakan: Pertama, Islam menetapkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok individu berupa sandang, papan dan pangan kepada individu dengan cara mewajibkan setiap pria yang baligh, berakal dan mampu, untuk bekerja. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak, istri, ibu, bapak dan saudaranya. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan kerja yang halal seluas-luasnya dan menutup lapangan kerja dan transaksi bisnis yang haram serta membangun iklim yang kondusif untuk berkembangnya usaha dan investasi yang halal.
Kedua: Jika individu tersebut tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka beban tersebut dibebankan kepada ahli waris dan kerabat dekatnya.
Ketiga: Jika dengan strategi kedua kebutuhan pokok itu belum juga terpenuhi, beban tersebut beralih ke negara. Negara wajib menanggung pemenuhan kebutuhan pokok orang tersebut menggunakan harta yang ada di kas Baitul Mal, termasuk harta zakat.
Sedangkan untuk jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara umum berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka negara memenuhinya secara langsung. Negara wajib menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan sebagaimana yang dibutuhkan rakyat. Jika negara tidak mempunyai dana, maka negara bisa mengambil dharibah dari kaum Muslim yang kaya, atau berutang–yang dibolehkan oleh syariah. Pungutan dharibah ini bersifat sementara yaitu ketika kas di Baitul Mal kurang atau tidak ada, dan dalam jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan itu, tidak lebih.
Negara juga menciptakan kondisi agar warganya berkesempatan memenuhi kebutuhan sekunder mereka sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Meskipun demikian, dengan dakwah dan pendidikan yang sistemik negara mengarahkan warganya memiliki corak dan gaya hidup yang islami (sederhana, tidak boros, tidak menggunakan hartanya untuk bermaksiat, mendorong rakyat untuk mendayagunakan hartanya di jalan Allah dll).
Walhasil, ketika taraf hidup orang-perorang warga negara Khilafah meningkat, ditambah dengan corak dan gaya hidup yang islami, maka tentu pertumbuhan ekonominya akan stabil dan rakyat menjadi sejahtera, insya Allah.

Tata Kelola Keuangan dan APBN Daulah Khilafah
Penerapan PEI tentu membutuhkan dana yang besar. Itulah peran penting Baitul Mal. Baitul Mal adalah bagian dari struktur sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang bertugas mengatur penerimaan dan pengeluaran negara yang sesuai dengan syariah Islam untuk mensejahterakan rakyatnya secara orang-perorang dan menyeluruh.
Sebagai lembaga negara yang mandiri, terpisah dari lembaga negara lainnya, dan langsung berada di bawah khalifah, Baitul Mal dipimpin oleh seorang Wali al-Kharaj yang menjadi pelaksana harian Baitul Mal. Ia membawahi Divisi Penerimaan, Divisi Pengeluaran dan Wali Baitul Mal Wilayah yang berkedudukan di wilayah (provinsi).
Tata kelola anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: (1) kaidah pengalokasian belanja negara; (2) pos pembiayaan belanja wajib; (3) kaidah mendapatkan pembiayaan belanja wajib.

1. Kaidah pengalokasian belanja negara.
Ditinjau dari jensi harta, pos-pos penerimaan negara Khilafah terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama terdiri bagian fai’i dan kharaj yang menghimpun pemasukan dari ghanimah, fai’, anfal, khumus anfal, kharaj, jizyah, harta milik negara, ‘usyur, harta ilegal penguasa, pejabat dan pegawai sera harta yang diperoleh dengan tindakan curang lainnya, khumus barang temuan dan tambang yang jumlahnya terbatas, harta waris yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad, dan harta dari pungutan dharibah. Bagian kedua adalah bagian pemilikan umum yang menghimpun pemasukan dari hasil-hasil pengelolaan harta milik umum. Bagian ketiga, bagian zakat yang menghimpun harta zakat.
Perbedaan jenis harta ketiga bagian penerimaan negara itu, memberikan batasan kepada Khalifah dalam melakukan kebijakan keuangan negara.
Batasan pertama, Khalifah tidak boleh mencampuradukkan ketiga bagian penerimaan tersebut baik dari sisi pencampuran harta maupun dari sisi administrasi pembukuan.
Batasan kedua, Khalifah tidak diperkenankan mengalokasikan anggaran ke pos-pos yang memang tidak memiliki hak terhadap bagian penerimaan tertentu.
Batasan ketiga, pelebaran alokasi pembiayaan dari suatu bagian penerimaan negara ke pos-pos pengeluaran yang dibiayai oleh bagian penerimaan negara lainnya dibolehkan jika ada kondisi-kondisi tertentu yang memenuhi ketentuan syariah, misalnya kas Baitul Mal kosong, atau tidak mencukupi untuk membiayai belanja wajib yang sifatnya mendesak. Kecuali bagian zakat yang memang sudah dibatasi alokasi pembelanjaannya oleh syariah yang tidak boleh dilanggar.
Berdasarkan ketiga batasan tersebut di atas, maka alokasi penerimaan Baitul Mal adalah sebagai berikut:
1. Fai’ dan kharaj dialokasikan untuk pos-pos pengeluaran berikut: seksi Dar al-Khilafah, seksi Mashalih ad-Dawlah, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat serta seksi anggaran belanja negara, pengendalian umum dan badan pengawas keuangan.
2. Kepemilikan umum dialokasikan pada pos-pos pengeluaran seksi kepemilikan umum. Kemudian seiring dengan meluasnya tanggung jawab negara dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi, maka alokasinya diperluas pada pos-pos berikut: seksi Dar al-Khilafah, seksi Mashalih ad-Dawlah/pelayanan publik, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat/bencana alam, dan seksi anggaran belanja negara, pengendalian umum dan badan pengawas.
3. Zakat. Alokasi pengeluaran negara dari sektor ini didasarkan pada QS at-Taubah ayat 60. Fungsi negara dalam sektor ini adalah menarik zakat dari orang-orang yang telah wajib zakat. Kemudian oleh negara, harta zakat yang terkumpul di Baitul Mal disalurkan kepada 8 (delapan) golongan yang berhak menerimanya yaitu orang fakir, orang miskin, para ‘amilin zakat, muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil.

2. Kemutlakan pembiayaan belanja wajib.
Anggaran belanja wajib merupakan anggaran pada pos-pos pengeluaran negara yang menurut syariah wajib ada (mutlak), artinya negara (pemerintah) wajib memenuhi belanja tersebut. Menurut Syaikh An-Nabhani, pos-pos belanja negara yang masuk kategori wajib, pembiayaanya tidak bergantung pada ada-tidaknya kas di pos penerimaan negara yang menutupinya. Jika sumber-sumber penerimaan rutin tidak mampu membiayainya, sementara diperkirakan pos-pos belanja wajib tersebut bila tidak dibiayai dapat menimbulkan bencana bagi masyarakat, maka negara harus mencari jalan agar secepatnya pos belanja tersebut tertutupi.
Secara garis besar Abdul Qadim Zallum membagi pos belanja wajib dalam 6 kategori, yaitu pembiayaan: (1) Jihad dan semua perangkat yang diperlukan untuk jihad. Pembiayaan ini disebut juga belanja pertahanan keamanan. (2) Industri militer dan industri strategis serta pabrik-pabrik penunjangnya. (3) Santunan fakir-miskin dan ibnu sabil. (4) Santunan para pejabat negara, pembayaran gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru dan dosen dan lain-lainnya yang pekerjaan melayani masyarakat. (5) Untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup umat yang sifatnya sangat dibutuhkan seperti rumah sakit, sekolah, universitas, jalan raya, air bersih, listrik, masjid, bandara dan lain-lain. (6) Untuk keadaan darurat (bencana).

3. Kaidah pembiayaan belanja wajib.
Kebijakan fiskal Islam bersandar pada prinsip mendahulukan anggaran wajib dan mewajibkan negara mengadakan sumber-sumber pembiayaan anggaran belanja wajib. Namun, jika semua sumber keuangan yang dimiliki negara telah dialokasikan ke belanja wajib tetapi belum mencukupi, maka kewajiban tersebut beralih menjadi kewajiban seluruh rakyatnya. Ada 5 (lima) langkah pokok yang dapat ditempuh negara dalam mencari solusi pembiayaan belanja wajib yang tidak dapat dipenuhi oleh sumber-sumber penerimaan dari harta milik negara, yaitu:
1. Memperluas pemasukan dari sumber-sumber kepemilikan umum, misalkan: jalur lintas pipa dan serat optik laut, penyewaan jaringan satelit yang tidak membahayakan keamanan negara dan letak Indonesia yang strategis memungkinkan Selat Malaka dan beberapa tempat lainnya sebagai pelabuhan dan bandara transit dengan menghasilkan pendapatan yang tidak sedikit.
2. Mengutamakan pengalokasian harta zakat untuk fakir-miskin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah di pos belanja wajib.
3. Seandainya langkah pertama dan kedua belum dapat menutupi belanja wajib, pemerintah dapat memobilisasi rakyatnya agar menginfakkan sebagian hartanya untuk mengatasi kekurangan anggaran.
4. Negara meminjam dana kepada masyarakat (yang bebas riba, tidak menyebabkan kehinaan dan ketundukan kepada orang kafir) baik dari individu maupun perusahaan swasta, tentunya akan dikembalikan ketika negara dalam kondisi surplus.
5. Jika belum juga mencukupi, maka negara dapat memungut dharibah dari kaum muslim laki-laki yang kaya dari kelebihan harta mereka.

Khatimah
Secara sistemik, pengelolaan anggaran negara berdasarkan Politik Ekonomi Islam yang didasarkan pada ketentuan syariah, insya Allah mampu memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (primer) orang-perorang secara menyeluruh dan pemenuhan kebutuhan sekunder serta tersier sesuai dengan kemampuan dengan corak dan gaya hidup masyarakat yang islami.
Walhasil, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan kesejahteraan rakyat dengan pondasi ekonomi dan karakter masyarakat yang islami akan terwujud, tentu atas izin Allah SWT. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Muhammad Sholahuddin, S.E., M.Si.; Koordinator Lajnah Khusus Intelektual HTI Soloraya]

Catatan Kaki:
1 A Dictionary of Economics; Eatwell, Milgate and Newman, 2009: 22.
2 QS al-Baqarah [2]: 233.
3 QS al-Hajj [22]: 28.
4 QS ath-Thalaq [65]:6

1 komentar:

komunikasiKu