diarymuslim Intelektual Mahasiswa LDK FKUI KamPusKu

dakwah islam

Selasa, 25 September 2012

POLIGAMI DALAM TINJAUAN HISTORIS,


POLIGAMI DALAM TINJAUAN HISTORIS, POLITIS, DAN NORMATIF *
Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi**
1. Pengantar
Poligami berulang kali menjadi isu kontroversial di Indonesia. Yang terbaru adalah ketika ada peresmian (launching) Klub Poligami Indonesia di Bandung 17 Oktober 2009 lalu. Dalam peresmian yang dilaksanakan Hotel Grand Aquila Bandung itu, hadir juga ketua klub poligami Malaysia Global Ikhwan Chodijah Binti Am. (www.antaranews.com).
Reaksi dari kaum sekuler / liberal pun bermunculan. LSM Institut Perempuan menolak klub poligami Indonesia itu (19/10). Direktur LSM Institut Perempuan, Elin Rozana, berkomentar, "Kami menolak klub poligami Indonesia. Peluncuran klub poligami ini telah menyakiti hati perempuan dan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan." (www.antaranews.com).
Tak lama kemudian berdirilah Koalisi Laki-laki Anti Poligami guna menandingi Klub Poligami tersebut (1/11). Koalisi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa, "Tidak semua laki-laki setuju dan mengamini poligami," kata anggota Koalisi Laki-Laki Anti Poligami Wawan Suwandi. Poligami menurutnya adalah bentuk perendahan martabat lelaki karena membuktikan lelaki tidak bisa memanajemen syahwatnya. (www.tempointeraktif.com).
Sebelum ini, pro kontra seputar poligami juga meledak beberapa saat sebelum Pemilu Caleg pada bulan Maret 2009 lalu. Menjelang Pemilu Caleg, muncul slogan "Jangan Pilih Caleg Poligami." Aktivis Solidaritas Perempuan Indonesia (SPI), Yenny Rosa Damayanti, menilai para elit yang berpoligami sangat rentan melakukan korupsi karena menanggung lebih dari satu keluarga. SPI dalam mendeklarasikan gerakannya pun menyebutkan sejumlah nama caleg dan anggota DPR yang melakukan atau mendukung praktik poligami. Mereka adalah Ahmad Muqowam (PPP), Endin AJ Soefihara (PPP), Syahrial (PPP), Usamah Al Hadar (PPP), Daud Rasyid (PKS), Didin Amaruddin (PKS), Tifatul Sembiring (PKS), Anis Matta (PKS), Zulkieflimansyah (PKS), Effendy Choirie (PKB) dan AM Fatwa (PAN). (www.inilah.com).
Sekitar dua tahun lalu (akhir 2006) pro kontra seputar poligami juga meledak hebat di Indonesia. Pemicunya adalah Aa Gym yang berpoligami. Pemerintah merespons secara reaksioner dengan merencanakan kebijakan yang kontroversial. Sejumlah peraturan yang mempersulit (baca : melarang) poligami, seperti UU No 1 /1974, PP 10/1983, dan PP 45/1990, akan direvisi. Larangan poligami akan diperluas tidak hanya kepada PNS dan TNI/Polri tapi juga kepada masyarakat luas.
Melihat kenyataan pro kontra poligami tersebut, diperlukan upaya untuk mendudukkan masalah poligami ini dengan perspektif yang komprehensif. Tujuan tulisan ini adalah :

Pertama, meninjau poligami dari tinjauan historis (sejarah), untuk membuat pemetaan (mapping) mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam pro-kontra poligami ini;

Kedua, meninjau poligami dari tinjauan politis, untuk mengungkap motif politik di balik berbagai peraturan pemerintah yang mempersulit poligami;

Ketiga, meninjau poligami dari tinjauan normatif (Syariah Islam), untuk menjelaskan hukum poligami dalam Islam dan membantah pendapat-pendapat yang mengharamkan poligami.
2. Sejarah Pro-Kontra Poligami
Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat). Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, karena semua ulama sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Hal ini karena kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti). Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360 :
"Masalah menikah dengan lebih dari satu isteri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Tidak ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka pun tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat dalam kebanyakan bab dan masalah fikih. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…"
Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat disimpulkan kalau kita menelaah kitab al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry Juz IV hal. 206-217 (Beirut : Darul Fikr, 1996) yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada para isteri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).
Dalam kitab Maratib al-Ijma', Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa apabila seorang muslim menikahi maksimal empat orang perempuan sekaligus maka hukumnya halal. (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma', hal. 62) (Lihat Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006], hal 41).
Jadi selama kurang lebih 1300 tahun tak ada beda pendapat soal bolehnya poligami ini di kalangan seluruh umat Islam. Lalu sejak kapan mulai muncul pro kontra poligami? Pro kontra ini baru muncul pada abad ke-19 M / ke-14 H ketika imperialis Barat yang berideologi sekuler menancapkan kukunya di Dunia Islam. Dalam situsai Dunia Islam yang dicengkeram ideologi kafir dai penjajah, muncullah beberapa orang modernis/liberal yang menggugat dan menolak poligami. Mereka itu misalnya Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), Ameer Ali (1849-1928), Muhammad Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Maulana Abul Kalam Azad (1888-1958) (Lihat Maryam Jameelah, Islam and Modernism, Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons, 1988).
Sayyid Ahmad Khan misalnya, memandang bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Poligami tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan yang jarang dan harus terbatas pada kondisi pengecualian saja (Busthami M. Said, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin, hal. 141).
Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar (yang ditulis oleh muridnya Rasyid Ridha) pada Juz IV hal. 346-363 juga berpendapat senada. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja (Tafsir Al-Manar, Juz 4/350).
Pada gilirannya, pendapat Abduh ini selanjutnya diikuti oleh para pemikir lainnya, baik yang memang modernis/liberal maupun yang sekedar terpengaruh dengan mereka. Mereka itu misalnya Syaikh Al-Bahiy al-Khuli, Syaikh Abdul Muta’al Ash-Shaidiy, dan Abdul Aziz Fahmi (Lihat telaah atas pemikiran tafsir ketiga tokoh ini dalam Fadhl Hasan Abbas, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Hadits, I/114-115).
Selain mereka, sikap Abduh yang anti poligami sedikit banyak juga mempengaruhi Jamaluddin al-Qasimi (Tafsir al-Qasimi/Mahasin al-Ta`wil, V/30), Ahmad Musthafa al-Maraghi (Tafsir al-Maraghi, IV/183), Muhammad Izzat Darwazah (at-Tafsir al-Hadits, IX/11-13), Abdul Karim Khathib (at-Tafsir al-Qur`ani li al-Qur`an, II/697), Dr. Wahbah Zuhaili (Tafsir al-Munir, IV/242), dan Ali Nasuh ath-Thahir (Tafsir Al-Qur`an al-Karim Kama Afhamuhu, I/309). Para "ulama" ini boleh dikatakan idenya masih satu nasab dengan ide Abduh. Abduh-lah yang menjadi inspirator bagi semuanya.
Namun, sebenarnya pendapat mereka yang anti poligami itu, bukanlah asli dari mereka. Mereka hanyalah mengambil alih dari para orientalis atau misionaris Kristen/Katholik. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa poligami adalah sesuatu yang dilarang dalam masyarakat Barat yang Kristen dan karenanya sering menjadi sasaran cemoohan atau hinaan kaum kafir.
Dalam kitab Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami karya Dr. Shabir Tha’imah hal. 53 (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984), disebutkan bahwa poligami merupakan salah satu ajaran Islam yang sering dikecam oleh kaum misionaris. Dalam kitab lain, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah hal. 42-43 (Beirut : Maktabah Arabiyah, 1986) Dr. Musthafa al-Khalidi dan Dr. Umar Umar Farrukh menerangkan, bahwa poligami telah menjadi sasaran hinaan atau kritikan oleh kaum orientalis kafir, seperti W. Wilson Cash, dalam bukunya The Moslem World in Revolution (London : 1926), hal. 98. Orientalis Noel J. Coulson mengatakan, bahwa keadilan di antara isteri mustahil dipenuhi, dan karena itu, poligami harus dilarang sama sekali (Lihat Noel J. Coulson, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, [Jakarta : LP3ES, 1990], hal.170).
Ringkasnya, serangan terhadap poligami sebenarnya bukan sesuatu yang baru ada sekarang tapi sudah lama, yakni sejak abad ke-19 M. Kecaman terhadap poligami ini bukanlah dari ulama, tapi aslinya dari kaum orientalis atau misionatis yang kafir, yang kemudian diteruskan oleh kaum modernis seperti Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawannya. Pada gilirannya, pandangan kaum modernis ini diadopsi dan diundangkan sebagai peraturan publik oleh para penguasa sekuler di negeri-negeri Islam.
Jadi di sini telah terjadi tiga tahapan serangan terhadap poligami. Pertama, serangan kaum orientalis atau misionaris. Kedua, selanjutnya –ini amat disayangkan-- serangan para orientalis dan misonaris itu lalu diteruskan oleh para pemikir modernis/liberal seperti Abduh dkk. Ketiga, selanjutnya serangan terhadap poligami yang telah diformalisasikan dalam bentuk peraturan perundangan oleh para penguasa di negeri-negeri Islam. (Mohammad Baharun, Isu Zionisme Internasional, hal. 53; Dr. Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin, hal. 187).
Tentu saja, kaum liberal/modernis itu seakan-akan membela Islam, karena mereka pandai menipu umat Islam dengan berdalil pakai ayat ini atau hadis itu. Jadi, generasi muda Islam yang polos akan mudah ditipu dengan kepandaian mereka memutar-balikkan pengertian ayat untuk tujuan melarang poligami. Mengomentari kaum modernis yang melarang poligami itu, dengan tegas dan tepat Abul A’la Al-Maududi –rahimahullah— berkata :
"Demikian pula tentang ide larangan poligami, tidak lain ia hanyalah barang asing yang diimpor ke negeri kita dengan alasan palsu yang disandarkan kepada Al-Qur`an." (Abul A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahah Tahaddiyat al-Mu’ashir, hal. 259).
Jelaslah, bahwa penentangan poligami itu hakikatnya bukanlah karena poligami itu suatu perbuatan dosa atau haram dalam agama Islam, melainkan karena poligami itu adalah barang najis yang sangat dibenci oleh masyarakat Barat yang Kristen. Kebencian atas dasar semangat Nashrani inilah yang kemudian merasuki alam pikiran kaum orientalis/misionaris yang kafir, selanjutnya merasuki pula alam pikiran kaum liberal seperti Sayyid Ahmad Khan dan lain-lainnya, dan selanjutnya merasuki pula benak para penguasa negeri-negeri Islam.
Padahal, agama Nashrani sendiri pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada satu pun ayat Injil yang secara tegas melarang poligami. Ketika orang-orang Kristen Eropa melaksanakan monogami, tidak lain karena kebanyakan bangsa Eropa saat itu meneruskan tradisi Yunani dan Romawi yang melarang poligami. Ketika orang-orang Romawi memeluk Nashrani pada abad ke-4 M, mereka tetap meneruskan tradisi nenek moyang mereka yang melarang poligami. Jadi, peraturan monogami sesungguhnya secara normatif bukanlah ajaran agama Nashrani, melainkan peraturan lama yang secara sosiologis sudah berlaku lama sejak orang Yunani dan Romawi menganut agama berhala (paganisme).
Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai norma agama Nashrani, padahal lembaran-lembaran Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami sama sekali. (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/157; H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, hal. 79-80; Ahmed Deedat, The Choice Dialog Islam-Kristen, hal. 85-88; David C. Pack, The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg).
Inilah sekilas penjelasan sejarah pro-kontra poligami di tubuh umat Islam, termasuk sejarah poligami itu sendiri di Eropa. Siapa saja yang mendalami masalah poligami dari sudut historisnya, akan sampai pada kesimpulan serupa ini.
Kesimpulannya, serangan terhadap poligami adalah bagian dari Perang Pemikiran (al-Ghazwul Fikri) antara kaum imperiais Barat yang Kristen dan berideologi kapitalisme-sekular di satu sisi, dengan kaum muslimin yang meyakini Islam sebagai ideologi di sisi lain.
Sayangnya, Perang Pemikiran itu nampaknya dimenangkan oleh imperialis Barat yang kafir, dengan dukungan kaum intelektual liberal dan para penguasa sekuler. Buktinya banyak negeri Islam yang melarang atau membatasi poligami. Misalnya, Tunisia (UU Status Pribadi tahun 1957), Maroko (UU Tahun 1958), Irak (UU tahun 1960), Pakistan (Ordonansi Hukum Keluarga Muslim Tahun 1961), Indonesia (UU 1/1974), Mesir (UU Jihan Tahun 1979, tapi dianulir 1985), dan sebagainya. (Lihat Noel J. Coulson, ibid.; Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, [Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005], hal. 140).
Negeri-negeri Islam yang melarang poligami ini sesungguhnya bukan sedang mengamalkan ajaran Islam, melainkan sedang bertaqlid buta kepada imperialis Barat yang Kristen, untuk menjalankan ajaran semu Kristen yang anti poligami, dengan justifikasi palsu dari al-Quran dan as-Sunnah yang direkayasa oleh kaum modernis yang menjadi agen-agen Barat. Inilah hakikat yang ada, tidak ada yang lain.
3. Motif Politik Di Balik Larangan Poligami
Berdasarkan tinjauan sejarah di atas, kita akan dapat mengungkap motif hakiki di balik pembatasan atau larangan poligami oleh para penguasa di negeri-negeri Islam, tak terkecuali di negeri ini. Motif ini diungkap dengan gamblang oleh Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360.
Motifnya kata beliau, adalah menata ulang institusi keluarga di negeri Islam mengikuti model institusi keluarga di Eropa, khususnya Eropa pada masa modern setelah mengalami revolusi pemikiran (Enlightenment) abad ke-17 M. (liyu’ida tanzhima al-usrati fi al-mujtama’ al-Islami ‘ala ghirari tanzhimi al-usrati fi al-mujtama’ al-gharbiy). Dengan kata lain, motif sesungguhnya adalah ingin menghancurkan institusi keluarga muslim untuk digantikan dengan model institusi keluarga kaum penjajah yang kafir.
Itulah motif sesungguhnya, walaupun penguasa bermanis kata dan mengumbar propaganda bahwa pembatasan poligami adalah karena ingin "melindungi perempuan." Atau dalih-dalih palsu lainnya. Bohong! Omongan semacam ini hanyalah tipu daya agar umat Islam terkecoh dan mau secara ikhlas diatur oleh undang-undang batil yang substansinya adalah tradisi Barat yang kafir yang diberi justifikasi palsu berupa dalil-dalil agama yang sudah diputarbalikkan secara jahat oleh kaum modernis-liberal.
Institusi keluarga Eropa, tentu bukan model ideal bagi institusi keluarga muslim. Keduanya merupakan dua entitas berbeda, karena keduanya mempunyai identitas, norma, dan sejarah yang berbeda dan bahkan bertolak belakang. Institusi keluarga Eropa yang monogami dibentuk oleh ajaran Kristen (Gereja). Perilaku seks bebas seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, inses, bukanlah dianggap aib di Eropa. Anak-anak zina pun dianggap sebagai kewajaran dan dimaklumi dalam kehidupan bermasyarakat.
Itu sangat berbeda dengan institusi keluarga muslim. Institusi keluarga muslim menjalankan pernikahan yang syar’i baik itu monogami maupun poligami berdasarkan ajaran Islam. Perilaku seks bebas seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, dan inses diharamkan dan diberi sanksi yang tegas. Sedang anak-anak zina dianggap aib dalam masyarakat Islam. (Abdurrahim Faris Abu Lu’bah, Syawa`ib al-Tafsir, hal. 360-361).
Dengan diberlakukannya peraturan perundangan yang membatasi poligami, berarti telah dilakukan secara sengaja proses transformasi sosial untuk merombak institusi keluarga yang Islami menjadi institusi keluarga yang mengikuti gaya hidup Barat. Persoalannya, relakah Anda yang muslim dipaksa menjalani gaya hidup Barat yang kafir? Apakah penguasa tidak lagi punya mata, telinga, dan nurani sehingga tidak tahu betapa bejat dan rusaknya masyarakat dan institusi keluarga di Barat? Apakah mereka tidak tahu 75 % anak-anak Inggris adalah anak zina? Apakah mereka tidak tahu sepertiga (31 %) masyarakat Amerika yang sudah berumah tangga melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain? Apakah mereka tidak tahu, mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain adalah sah-sah saja dilakukan? Apakah masyarakat dan keluarga bejat seperti ini yang menjadi cita-cita para penguasa sekuler saat ini? (Lihat James Patterson & Peter Kim, The Day American Told the Thruth, New York : Plume Book, 1991).
Jika penguasa negeri Islam menerapkan secara paksa berbagai aturan Barat atas rakyatnya sendiri yang muslim, seperti pembatasan poligami, maka terjadilah apa yang oleh Dr. Shabir Tha’imah disebut "penjajahan modern" (al-isti’mar al-hadits). Istilah ini, kata beliau, muncul di kalangan bangsa-bangsa lemah yang terjajah dalam bentuk baru pasca Perang Dunia II. Penjajahan modern pada hakikatnya adalah dominasi, orientasi, dan eksploitasi melalui anak-anak negeri sendiri, yang dulunya negeri itu di bawah cengkeraman penjajahan, lalu anak-anak negeri sendiri itu bertindak seperti penjajah sebelumnya dengan tangan besi (wa huwa laysa fi haqiqatihi illa as-saytharah wa at-tawjih wa al-istitsmar ‘an thariq abna’ al-balad alladziy kaanat fiihi qabdhah al-isti’mar wa ta’mal amalaha biquwwati al-hadid wa an-nar). (Dr. Shabir Tha’imah, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, [Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984], hal. 50).
Dengan demikian, kalau umat Islam dulu sebelum Perang Dunia II dijajah secara langsung oleh Barat yang kafir, maka kini pasca Perang Dunia II umat Islam dijajah oleh para penguasanya sendiri yang menjadi kepanjangan tangan dari Barat yang kafir. Itulah hakikat yang terjadi tatkala penguasa menerapkan peraturan dari Barat (seperti pembatasan poligami) atas umat Islam dengan kekuatan dan paksaan. Inilah yang disebut penjajahan modern itu.
4. Hukum Poligami dalam Islam
Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan sunnah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam hal. 129 :
"Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah (boleh), yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian."
Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah SWT telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini. Firman Allah SWT (artinya) :

"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)
Imam Suyuthi menjelaskan bahwa pada ayat di atas terdapat dalil, bahwa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Imam kSuyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).
Sababun nuzul ayat ini, bahwa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada ‘Aisyah tentang ayat QS An-Nisaa` : 3 yang artinya :

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS an-Nisaa’ [4]: 3).
Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).
Namun demikian, kebolehan poligami pada ayat di atas tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim, sebagaimana khayalan kaum liberal yang bodoh. Sebab sebagaimana sudah dipahami dalam ilmu ushul fiqih, yang menjadi pegangan / patokan (al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum (fankihuu maa thaab lakum mina an-nisaa` dst), bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim). Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim maupun yang tidak mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fikih menyebutkan :
Idza warada lafzhul ‘umuum ‘ala sababin khaashin lam yusqith ‘umumahu
"Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah menggugurkan keumumannya." (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123).
Beberapa hadits menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW telah mengamalkan bolehnya poligami berdasarkan umumnya ayat tersebut, tanpa memandang apakah kasusnya berkaitan dengan pengasuhan anak yatim atau tidak. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya sepuluh isteri,"Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang lainnya!" (HR Malik, an-Nasa’i, dan ad-Daruquthni). Diriwayatkan Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).
Kebolehan poligami ini tidaklah tepat kalau dikatakan "syaratnya harus adil." Yang benar, adil bukan syarat poligami, melainkan kewajiban dalam berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat atau keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut). Wudhu, misalnya, adalah syarat sah shalat. Jadi wudhu harus terwujud dulu sebelum sholat. Maka kalau dikatakan "adil" adalah syarat poligami, berarti "adil" harus terwujud lebih dulu sebelum orang berpoligami. Tentu ini tidak benar. Yang mungkin terwujud sebelum orang berpoligami bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" seseorang apakah ia akan bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah mendorong dia untuk menikah dengan satu isteri saja (fa-in khiftum an-laa ta’diluu fa waahidah, "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja) (QS an-Nisaa` : 3).
Adapun keadilan yang merupakan kewajiban dalam poligami sebagaimana dalam QS an-Nisaa` : 3, adalah keadilan dalam nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah tujuannya adalah mencukupi kebutuhan para isteri yaitu mencakup sandang (al-malbas), pangan (al-ma`kal), dan papan (al-maskan). Sedang mabit, tujuannya bukanlah untuk jima’ (bersetubuh) semata, melainkan untuk menemani dan berkasih sayang (al-uns), baik terjadi jima’ atau tidak. Jadi suami dianggap sudah memberikan hak mabit jika ia sudah bermalam di sisi salah seorang isterinya, walaupun tidak terjadi jima’ (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).
Yang dimaksud "adil" bukanlah "sama rata" (secara kuantitas) (Arab : al-taswiyah), melainkan memberikan hak sesuai keadaan para isteri masing-masing. Namun kalau suami mau menyamakan secara kuantitas juga boleh, namun ini sunnah, bukan wajib. Isteri pertama dengan tiga anak, misalnya, tentu kadar nafkahnya tidak sama secara kuantitas dengan isteri kedua yang hanya punya satu anak. Dalam hal mabit (bermalam), wajib sama secara kuantitas antar para isteri. Namun isteri yang sedang menghadapi masalah misalnya sedang sakit atau stress, dapat diberi hak mabit lebih banyak daripada isteri yang tidak menghadapi masalah, asalkan isteri lainnya ridha. (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-208; Lihat secara khusus cara berlaku adil terhadap isteri-isteri dalam Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press], 2006).
Adapun "adil" dalam QS an-Nisaa’ : 129 yang mustahil dimiliki suami yang berpoligami, maksudnya bukanlah "adil" dalam hal nafkah dan mabit, melainkan adil dalam "kecenderungan hati" (al-mail al-qalbi). Allah SWT berfirman (artinya) :

"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS an-Nisaa’ [4] : 129).
Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahwa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).
Sayyid Sabiq menukilkan riwayat, bahwa Muhammad bin Sirin berkata,"Saya telah mengajukan pertanyaan dalam ayat ini kepada ‘Ubaidah. Jawabnya,’Yaitu dalam cinta dan bersetubuh." (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/143).
Maka tidaklah benar pendapat kaum liberal yang mengharamkan poligami berdasarkan dalil ayat di atas (QS 4 : 129) yang dikaitkan dengan kewajiban adil dalam poligami (QS 4 : 3). Mereka katakan, di satu sisi Allah mewajibkan adil, tapi di sisi lain keadilan adalah mustahil. Lalu dari sini mereka menarik kesimpulan bahwa sebenarnya poligami itu dilarang alias haram. Mereka menganggap keadilan pada dua ayat tersebut adalah keadilan yang sama, bukan keadilan yang berbeda. Padahal yang benar adalah, keadilan yang dimaksud QS 4:3 berbeda dengan keadilan yang dimaksud dengan ayat QS 4:129.
Pemahaman kaum liberal tersebut tidak benar, karena implikasinya adalah, dua ayat di atas akan saling bertabrakan (kontradiksi) satu sama lain, di mana yang satu meniadakan yang lain. Padahal Allah SWT telah menyatakan tidak adanya kontradiksi dalam Al-Qur`an. Allah SWT berfirman :

"Kalau sekiranya al-Qur`an itu dari sisi selain Allah, niscaya akan mereka dapati pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS an-Nisaa` [4] : 82).
5. Mengkritisi Beberapa Penolakan Poligami
Berikut ini bantahan terhadap beberapa penolakan terhadap bolehnya poligami.
5.1. Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam Kondisi Darurat
Ada orang yang menolak poligami dengan ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu keluar darurat). Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih. Darurat menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, adalah "sampainya seseorang pada suatu batas (kondisi) yang jika dia tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanawal al-mamnu’ halaka aw qaaraba). Ini artinya, seorang laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah sekali keadaannya, yakni hampir mati kalau tidak berpoligami. Kasihan sekali. Ini tentu menggelikan dan tidak benar.
Pendapat yang membolehkan poligami dalam kondisi darurat berarti menganggap poligami itu hukum asalnya haram (seperti daging babi), dan baru dibolehkan (sebagai hukum rukhshah) jika tak ada jalan keluar selain poligami. Padahal hukum asal poligami bukan haram, tapi mubah. Inilah yang benar.
5.2. Katanya Nabi Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami
Ada orang yang mengharamkan poligami dengan alasan Rasulullah SAW telah melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami. Suatu saat Ali yang sudah beristerikan Fatimah meminta izin kepada lalu Rasulullah SAW untuk menikah lagi dengan putri Abu Jahal, lalu Rasulullah SAW bersabda : "Tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib rela untuk menceraikan putriku dan menikahi putrinya Abu Jahal. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, menyenangkan aku apa yang menyenangkannya, menyakitiku apa yang menyakitinya."
Jika dilihat sampai disini, seolah-olah Rasulullah SAW mengharamkan poligami. Kaum liberal yang curang biasanya hanya menyampaikan hadits di atas tanpa melihat hadits yang sama dari jalur periwayatan yang lain. Padahal dalam jalur riwayat lain ada pernyataan Nabi SAW yang justru sangat penting kaitannya dengan status hukum poligami. Sabda lalu Rasulullah SAW tersebut : "Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu yang halal, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah dalam suatu tempat selama-lamanya." (HR Bukhari)
Sabda Rasul yang terakhir ini dengan jelas menunjukkan bahwa poligami itu adalah halal, bukan haram. Jadi larangan Rasul kepada Ali yang ingin memadu Fatimah dengan putri Abu Jahal bukanlah karena Rasulullah SAW mengharamkan poligami, melainkan karena lalu Rasulullah SAW tidak senang Ali mengumpulkan putri Rasulullah SAW dengan putri musuh Allah di bawah lindungan seorang lelaki. Ini dapat dipahami dari kalimat selanjutnya yaitu "Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam suatu tempat selama-lamanya".
Bahkan Ali sendiri sebenarnya berpoligami, setelah meninggalnya Fathimah. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah wafatnya Fatimah RA (Imam Suyuthi, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, [Beirut : Dar Amwaj, 1989, hal 17]
5.3. Katanya Poligami Yang Menimbulkan Bahaya (Dharar) Haram
Ada orang yang mencoba menolak poligami berdasarkan survei dari data-data empiris yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari poligami, misalnya percekcokan antar isteri, rawan penyakit seksual, dan sebagainya.
Secara metodologis (ushul fiqih), cara berpikir itu salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’. Padahal akal tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu hanya bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara mandiri terlepas dari teks.
Di sinilah tepat sekali Imam Ghazali mengatakan, "Al-Ahkam as-sam’iyah laa tudraku bi al-‘aql," (Hukum-hukum syar’i tidaklah dapat dijangkau dengan akal semata) (Imam Ghazali, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul, Juz I hal. 127).
Ada pula yang menggunakan data-data tersebut untuk menolak poligami, dengan ditambah argumen berupa kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan). Jadi, pendapat itu menyatakan poligami harus dilarang, karena melarang poligami artinya adalah menolak kerusakan, yang harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami).
Pendapat itu batil. Sebab pengamalan kaidah fiqih itu dapat dikatakan sebagai ijtihad. Padahal ijtihad tidak berlaku jika ada nash yang qath’i (pasti) dalam suatu masalah. Kaidah fikih menyebutkan laa ijtihaada fi maurid al-nash (Tidak boleh melakukan ijtihad pada saat ada nash yang qath’i). Dalam hal ini telah ada nash yang qath’i yaitu QS 4:3 yang membolehkan poligami. Jika ada nash yang qath’i, tidak boleh lagi berijtihad pada nash yang qath’i itu, apalagi sampai hasil ijtihadnya membatalkan hukum dalam nash qath'i itu.
Tindakan yang benar seharusnya bukan melarang poligami, melainkan meluruskan penyimpangan dalam berpoligami, atau menghilangkan bahaya yang muncul dalam berpoligami. Kaidah fiqih menyebutkan adh-dharaar yuzaalu syar’an (Segala bahaya wajib secara syar’i untuk dihilangkan). Jadi, kalau dalam berpoligami seorang suami berbuat zalim, misalnya tidak adil dalam nafkah, atau suka memukul isteri, maka yang dilakukan bukan membubarkan poligami, melainkan mengadukan masalah tersebut kepada hakim (peradilan Islam). Hakim dapat memberikan sanksi syar’i (ta’zir) kepada suami dan mewajibkan suami agar memenuhi hak-hak isteri. Ibaratnya, kalau mobil kita rusak, misalnya AC rusak atau ban bocor, solusinya bukanlah membuang mobil itu. Tapi bawalah mobil itu ke bengkel dan perbaikilah. Inilah yang haq.
6. Penutup
Sesungguhnya hukum Allah dalam masalah poligami sudah sangat jelas dan tidak perlu kita terlalu bertele-tele untuk menerangkan kebolehannya. Yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula.
Namun bagaimana pun juga, kita harus sadar bahwa akan selalu ada sebagian umat Islam yang bertaqlid buta dan membebek kepada kaum kafir. Ketika kaum kafir menolak poligami dan membolehkan zina, akan selalu ada di antara umat Islam ini yang mengikuti jalan hidup sesat tersebut. Yakni dengan mempersulit atau melarang poligami, dan sebaliknya membiarkan zina. Jadi, tidak usah terlalu heran. Mereka memang ada.
Mereka itu saat ini adalah kelompok liberal dan penguasa sekuler yang mengabdikan dirinya secara tulus kepada kaum penjajah yang kafir. Mereka inilah yang harus selalu kita waspadai agar umat terlindung dari tipu daya mereka yang sangat keji. Karena mereka mempropagandakan paham kufur dengan dalil-dalil agama yang dimanipulasi untuk kepentingan penjajah. Kejahatan kaum liberal dan penguasa sekuler ini wajib kita hentikan dan kita hancurkan.
Marilah kita renungkan dengan seksama sabda Rasulullah SAW : "Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan (hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkjal, sehasta demi sehasta, hingga kalau pun mereka masuk ke lubang biak, kamu akan mengikuti mereka. Kami [para sahabat] berkata,’Wahai Rasulullah, [apakah mereka itu] orang Yahudi dan Nashrani?’ Rasulullah menjawab,"Lalu siapa [kalau bukan mereka]?" (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu a'lam. [ ]
= = = = = = =
*Disampaikan dalam Kajian Tsaqofah Islam, dengan tema Poligami dalam Tinjauan Historis, Politis, dan Normatif, Jumat 6 Nopember 2009, di STEI Hamfara Yogya, diselenggarakan oleh HTI Chapter Kampus Kota Yogya bekerjasama dengan Pesantren Hamfara Yogya.
**KH. Ir. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, MSI. Alumnus Jurusan Biologi Fakultas MIPA IPB (S-1) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (S-2). Pernah nyantri di PP Nurul Imdad dan PP Al-Azhar, Bogor. Sekarang Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, konsultan hukum Islam di tabloid Media Umat Jakarta (www.mediaumat.com), dosen tetap STEI Hamfara Yogya, dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Lu'bah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri, (Disertasi Doktor), Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005
Alhamdani, H.S.A, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam
Al-Jaziry, Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut : Darul Fikr), 1996
Al-Khalidi, Musthafa & Farrukh, Umar, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah, (Beirut : al-Maktabah al-'Arabiyah), 1986
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin,(Beirut : Darul Bayariq), 1992
Amal, Taufik Adnan & Panggabean, Samsu Rizal, Politik Syariat Islam, (Jakarta : Pustaka Alvabet), 2005

Apa Salah Caleg Poligami? http://www.inilah.com/berita/2009/03/30/94497/apa-salah-caleg-poligami/
As-Sanan, Ariij Binti Abdurrahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), (Jakarta : Darus Sunnah Press), 2006
Baharun, Mohammad, Isu Zionisme Internasional
Coulson, Noel J, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES), 1990
Deedat, Ahmed, The Choice Dialog Islam-Kristen
Ghazali, Imam, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul
Jameelah, Maryam, Islam and Modernism, (Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons), 1988

Institut Perempuan Tolak Klub Poligami Indonesia, http://www.antaranews.com/berita/1255951529/institut-perempuan-tolak-klub-poligami-indonesia

Klub Poligami Indonesia Diresmikan, http://www.antaranews.com/berita/1255861125/klub-poligami-indonesia-diresmikan

Koalisi Laki-laki Anti Poligami Tandingi Klub Poligami, http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2009/11/01/brk,20091101-205673,id.html
Pack, David C., The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunah, Jilid VI, (Bandung : PT Almaarif), 1983
Said, Busthami Musthofa, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdid al-Din), (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah), 1996
Tha’imah, Shabir, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, (Beirut : ‘Alam al-Kutub), 1984
Suyuthi, Imam, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, (Beirut : Dar Amwaj), 1989
----------, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, (Semarang : Usaha Keluarga), tanpa tahun
Last Updated ( Friday, 06 November 2009 )

Senin, 24 September 2012

Pemikiran masyarakat

Negara khilafah Islam bukan sekedar mendirikan sebuah negara; ada khalifah, ada muawwin, ada qadhi, amirul jihad, mendirikan kantor khalifah, membangun kekuatan militer, dan sebagainya. Bukan hanya sekedar itu. Tetapi mendirikan negara khilafah Islam berarti membangun sebuah masyarakat atau membangun sebuah peradaban. Peradaban apa? Tidak lain adalah peradaban Islam. Apa itu peradaban Islam? Peradaban Islam adalah sebuah peradaban yang berangkat dari pemahaman-pemahaman Islam. Pemahaman Islam tentang apa? Yaitu tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan; serta keterkaitan di antara ketiganya. Apa landasan dari pemahaman-pemahaman Islam itu? Landasannya adalah Alquran dan sunnah. Demikianlah sebuah peradaban Islam di bangun. Pemahaman ini harus menjadi pengikat di antara warga negara khilafah.

Pemahaman seperti ini tidak akan bisa sampai kepada manusia, jika tidak ada aktivitas dakwah. Oleh karena itu, dakwah menjadi faktor utama tersampaikannya pemahaman tentang negara khilafah ke dalam benak kaum muslim. Tanpa dakwah, jangan harap pemahaman tentang negara khilafah (negara Islam) akan sampai. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka cara-cara penegakan negara khilafah dengan metode jihad (perang), adalah metode yang mengabaikan kenyataan ini.

Suatu ketika pernah terjadi dialog antara saya dengan seorang aktivis Islam yang sangat menyukai aktivitas jihad untuk mengakkan negara khilafah. Dalam dialog tersebut, beliau menyatakan bahwa negara yang ada saat ini ada adalah negara yang tidak sah, maka harus dihancurkan. Caranya adalah dengan menghancurkan istana negara, menghancurkan institusi-institusi politik seperti kantor-kantor menteri, kepolisian, markas tentara, dan sebagainya. Setelah semua itu dihancurkan maka para aktivis pun akan menguasai negara ini dan menjadikannya negara khilafah yang menerapkan syariat Islam. Demikian pendapat kawan saya tersebut.

Lalu kepadanya saya katakan, bahwa jika memang benar jalan itu yang ditempuh, maka niscaya umur negara khilafah tidak akan bertahan lama. Sebab, secara riil rakyat yang disebut sebagai penghuni suatu negara, tidak pernah disadarkan tentang: apa itu negara khilafah dan bagaimana sebuah negara khilafah menjalankan pemerintahannya? Hal yang seperti ini tidak pernah didakwahkan kepada masyarakat. Lalu bagaimana rakyat akan menerima bentuk negara khilafah jika tidak pernah ada maklumat sabiqah (informasi awal) tentang negara khilafah? Maka jangan heran jika negara khilafah ditegakkan dengan cara seperti itu, maka rakyat akan tidak terima dan lebih memilih untuk melawan penguasa baru tersebut.

Maka di sinilah pentingnya sebuah aktivitas dakwah untuk memahamkan rakyat tentang negara khilafah. Dan cara-cara seperti itu (jihad) dengan menghancurkan penampakan fisik-simbolis sebuah negara, justru berbahaya. Berbahaya bagi siapa? Yaitu bagi eksistensi Islam dan kaum muslim, dan bagi negara khilafah sendiri.

Ingat, entitas utama sebuah negara adalah masyarakat. Masyarakat itulah yang harus kita ubah. Apanya yang diubah? Yang diubah adalah sebagai berikut.

1) Pemikiran masyarakat
Pemikiran umat harus diubah, dari yang semula tidak pernah berpikir Islami, harus diubah dengan pemikiran yang Islami. Apa yang dimaksud pemikiran yang Islami? Pemikiran yang Islami adalah pemikiran yang berangkat dari Alquran dan sunah dengan standar halal-haram. Rakyat harus dipahamkan tentang Islam, agar setiap pemikiran-pemikirannya dan perbuatan-perbuatannya berangkat dari pemikiran halal-haram.

2) Perasaan masyarakat
Perasaan masyarakat harus diubah, yang semula berperasaan tidak Islami, menjadi perasaan yang Islami. Sama seperti halnya pemikiran yang Islami, perasaan yang islami pun juga harus berangkat dari pemahaman Alquran dan sunah. Sehingga pola sikap masyarakat benar-benar pola sikap yang Islami, bukan pola sikap yang berangkat dari pemahaman di luar Islam.

3) Aturan masyarakat
Peraturan yang diterapkan di dalam masyarakat juga harus diubah dari peraturan yang tidak Islami menjadi peraturan yang Islami. Hukum-hukum sekuler yang saat ini ada, wajib untuk diganti dengan hukum-hukum Islam yang berasal dari sumber-sumber hukum Islam.

Semua itu (pemikiran, perasaan, dan aturan) tidak akan berubah menjadi Islami jika tidak ada aktivitas dakwah atau penyadaran umat. Maka kunci perubahan sebenarnya terletak pada adanya dakwah di tengah-tengah masyarakat. Jika masyarakat sudah benar-benar menginginkan agar semua diganti dengan sistem Islam, maka akan muncullah peradaban Islam itu. Dan peradaban Islam, tidak lain adalah tegaknya masyarakat Islam dalam naungan negara khilafah.

Wallahu a’lam.

Jumat, 21 September 2012

Seputar Khilafah

Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir

1. Benarkah tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين
“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).
2.     Apakah khabar dari Rasulullah tentang akan adanya khilafah ala minhajin nubuwah (hadits Hudzaifah bin al Yaman) juga jadi dalil?
Dalil wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits Hudzaifah bin al Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah tentang bakal kembalinya khilafah di masa mendatang.  Meski tidak mengandung tuntutan atau thalab, tapi hadits tadi penting untuk diperhatikan. Logikanya, tidak mungkin sesuatu itu, yakni Khilafah, dikabarkan oleh Rasulullah bakal kembali tegak bila sesuatu itu bukan perkara penting dan wajib dalam agama ini.
3.     Secara ilmiah dan empiris, sebenarnya kemungkinan tegaknya khilafah di muka bumi?
Pasti akan tegak. Mengapa? Pertama, khilafah itu sebuah kewajiban, bahkan dijanjikan oleh Allah Swt. Dan semua janji Allah pasti akan terwujud asal kita memenuhi semua syarat-syarat bagi terwujudnya janji-janji itu. Sebagaimana jatuhnya  Romawi Timur kepada Islam. Meski itu sangat sulit, tapi karena keyakinan dari para sahabat, para pejuang Islam pada waktu itu bahwa jatuhnya Romawi Timur ini adalah sebuah kemestian, sebuah kewajiban dan sekaligus dijanjikan, maka misi sesulit itu tetap saja dilakukan. Ekspedisi untuk menaklukkan Konstantinopel sudah di mulai semenjak Khalifah Usman bin Affan. Dan Anda tahu, sejarah membuktikan Konstantinopel jatuh baru pada tahun 1453. Jadi hampir 700 tahun kemudian. Ketika panglima Muhammad al-Fatih masuk ke benteng Konstantinopel, dia  teringat kepada hadist yang berbunyi Fala ni’ma al-amir, amiruha. Fala ni’ma al-jaiz fadzalika al-jaiz (sebaik-baik panglima perang adalah panglima perang yang menaklukkan Konstantinopel, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkan Konstantinopel). Hadis itu dibaca oleh Muhammad al-Fatih, seolah-olah Nabi memuji dirinya. Padahal hadis itu diucapkan pada 700 tahunan sebelum peristiwa besar itu terjadi.
Bila untuk menaklukkan Konstantinopel yang merupakan jantung dari adikuasa Romawi Timur saja akhirnya bisa dilakukan, meski harus melalui upaya yang luarbiasa dan memakkan ratusan tahun, apalagi untuk sebuah khilafah yang itu sudah pernah ada, dan tinggal membangkitkan memori umat, tentu insha Allah akan lebih mudah. Dalam pengalaman gerak Hizbut Tahrir, pengalaman gerak saya di negeri ini sekian tahun lamanya, saya mendapatkan respon yang luar biasa dari umat. Ketika umat ini makin lama makin mendukung, apalagi ditambah dengan kondisi eksternal seperti bagaimana Amerika Serikat dengan kejam menggempur Irak,  juga Afganistan tanpa bisa kita cegah sama sekali, dan konflik Israel dan Palestina yang sudah lebih 50 tahun tidak juga kunjung selesai, para pemimpin umat pun berfikir lalu solusinya apa? Apa yang bisa kita lakukan untuk membela diri? PBB sudah terbukti lebih berpihak kepada negara-negara besar. Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga tidak punya gigi karena masing-masing anggota lebih mementingkan negaranya sendiri-sendiri. Negara-negara Arab sama saja, ASEAN apalagi. Pada puncaknya mereka, para pemimpin umat itu, akan melihat bahwa gagasan khilafah ini yang paling pas. Meski cita-cita itu sangat sulit. Dan kesulitan itu juga yang kami rasakan. Tapi semua masih sangat mungkin berubah, baik karena faktor internal maupun tekanan eksternal. Ada banyak tokoh-tokoh Islam yang pada 20 tahun yang lalu ketika kami pertama kali muncul untuk menyampaikan ide khilafah ini tidak mau mendengar atau bahkan mencibir dan sebagainya, sekarang berubah total, mereka mendukung betul.
Pada kenyataannya pengamat dunia internasional pun  juga memperkirakan khilafah Islam akan berdiri tidak lama lagi. National Intelligence  Council (NIC) yang bersidang di Amerika Serikat baru baru ini, menskenariokan bahwa pada tahun 2020  Islamic Caliphate (khilafah Islam) akan berdiri. Mereka menskenariokan empat kemungkinan pada tahun 2020. Pertama, dunia tetap dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, dunia dipimpin oleh India atau China. Ketiga, dunia dipimpin oleh seorang tiran, entah dari mana. Lalu yang keempat berdirinya Islamic Caliphate. Bila mereka saja bisa memprediksi bahwa khilafah Islam akan berdiri, mengapa kita bilang itu tidak mungkin?
 4. Bagaimana dengan adanya pihak yang mengatakan, khilafah bukan satu-satunya jaminan bagi kejayaan umat Islam?
 Kejayaan umat ditentukan oleh dua faktor. Yang pertama adalah sistem yang baik. Dan yang kedua adalah kepemimpinan yang amanah. Sistem yang baik itu adalah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah syariah Islam. Dan pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang mau tunduk kepada sistem yang baik tadi, dan dia memimpin dengan penuh keadilan.
Secara i’tiqadiy, Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa rahmat.  Nabi Muhammad diutus untuk membawa agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin).  Dari berbagai ayat dan hadits, kita  dapat disimpulkan bahwa ‘hinama yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah’, dimana ada hukum syariat di situ pasti ada kemaslahatan. Sejarah pun membuktikan hal itu.  Kejayaan Islam masa lalu pun diraih ketika kehidupan Islam  dimana di dalamnya diterapkan syariat terwujud serta umat Islam bersatu dan bekerja keras di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Maka, kejayaan yang sama akan diraih kembali di masa yang akan datang melalui jalan serupa.
Kalau kita percaya bahwa Islam dengan akidah dan syariatnya datang untuk membawa rahmat, dan rahmat  adalah segala kebaikan yang kita angankan berupa  kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemajuan, kebersamaan dan sebagainya, maka bagaimana mungkin rahmat itu akan terwujud kalau kemudian kita menolak ketentuan syariat Islam itu sendiri di mana di dalam syariat itu ada perintah agar kita bersatu.
Kejayaan Islam dibawah Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur. Diantaranya, Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, ia menulis: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.
Jadi, bila bukan dengan khilafah, lantas dengan apa umat Islam akan meraih kembali kejayaannya?
5.     Bagaimana dengan pandangan yang tidak setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh HT menyangkut penyelesaian problematika umat Islam yakni perbaikan sistem dan pemimpin sekaligus. Bagi mereka yang penting pribadi masyarakat bagus, nanti otomatis sebuah negara/bangsa akan bagus.?
Itu asumsi yang tampak indah, tapi tidak faktual. Nyatanya, orang akan cenderung menjadi baik dalam lingkungan dan sistem yang baik. Begitu sebaliknya, orang yang baik akan cenderung tergerus kebaikannya dalam lingkungan dan sistem yang buruk. Lihatlah sekarang ini, dalam lingkungan yang korup banyak birokrat yang baik, akhirnya terseret juga menjadi korup. Oleh karena itu dalam menyelesaikan problem kita harus menggarap dua sisi sekaligus yakni sistem dan kepemimpinan.
6.    Bagaimana dengan tudingan bahwa HT mu’tazilah, khawarij, dan bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah?
Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga Nahrawan, karena Imam Ali memerangi mereka di sana. Di antara kelompok Khawarij ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga yang beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh. Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti kafir, ia kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena itu, mereka kafir.[1] Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat imam atau khalifah.[2]
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir, antara lain: Pertama, dalam masalah iman dan kufur, Hizbut Tahrir berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena itu, Hizbut Tahrir tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis kafir.[3] Kedua, Hizbut Tahrir juga berkeyakinan bahwa umat Islam saat ini masih memeluk akidah Islam, betapapun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan seperti justru sangat berbahaya, dan membahayakan.[4] Karena itu, Hizbut Tahrir tidak pernah menghalalkan darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya darah seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan seisinya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi).
Ketiga, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya.[5] Apatah lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.
Keempat, Hizbut Tahrir juga menyatakan bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya.
Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah,[6] jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan tegas menolak kewajiban tersebut.Tinggal satu masalah, apakah tindakan Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij, sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para penguasa (Khalifah) yang nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya, Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah. Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.
Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir, sebagai entitas intelektual, tidak pernah menggunakan cara-cara tersebut. Sekalipun para anggotanya banyak yang telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa despot, Hizbut Tahrir tetap hanya menjalankan aktivitas intelektual dan politik; tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi semata-mta karena Hizbut Tahrir berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi saw. dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.
Lalu, dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya disamakan dengan Khawarij, padahal keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka yang membuat tuduhan itu memang tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut Tahrir? Atau mungkin mereka paham, tetapi sengaja melakukan penyesatan, karena ada pesanan, sehingga bisa membuat analogi yang sama sekali keliru, yang bahkan membuktikan rendahnya kadar intelektualitas mereka?
Hizbut Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara lain: Pertama, dalam masalah akal. Muktazilah dan Asy’ariyah, sama-sama menggunakan akal tanpa batas, sehingga digunakan melampaui kapasitasnya, sebagaimana dalam pembahasan tentang Sifat Allah; apakah sifat sama dengan Zat (Muktazilah), atau berbeda dengan Zat (Asy’ariyah). Kedua, dalam masalah perbuatan. Muktazilah menyatakan, seluruh perbuatan manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh Hizb. Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi perbuatan), yang dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan Hizb. Keempat, dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung menakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya, sehingga mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga ditolak oleh Hizb. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir tidak bisa dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir dengan Muktazilah hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan tentang Hizbut Tahrir.
 7.     Mengapa HT tidak  banyak berkembang di Timur Tengah, apakah karena idenya tidak diterima atau karena faktor lain?
Di sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh negara Timur Tengah, bukan hanya HT, gerakan Islam lain yang bersifat politik juga tidak berkembang. Jadi tidak berkembangnya HT bukan karena idenya tidak diterima, tapi lebih karena tekanan penguasa yang memang tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan mengancam kekuasaan mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu tumbang, HT dengan cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan negara-negara Timur Tengah lain.
 8.     Mengapa HT sering dipojokkan?
HT memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya HT tidak pernah menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain. Gagasan-gasannya juga cukup jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan terbuka. Jadi, mengapa HT sering dipojokkan, ada banyak kemungkinan. Bisa karena mereka itu tidak paham substansi dari perjuangan HT, yang intinya bagaimana mewujudkan kembali kehidupan Islam masyarakat dan negara melalui penerapan syariah dalam bingkai khilafah agar kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insha allah tidak sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.
Sementara yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide syariah dan khilafah itulah berarti orang yang tidak menginginkan  Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.
9.     Siapa yang ada di balik upaya itu?
 Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri, baik muslim maupun non muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila non muslim, pasti mereka tidak memahami esensi perjuangan HT dengan baik dan sudah keblanjur ada kedengkian dan ketakutan tanpa dasar. Sementara bila muslim, pasti mereka adalah muslim yang telah tersekulerkan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru menentang perjuangan  bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa Islam kembali jaya.
Kedua, adalah  negara Barat, yang memang akan terus berusaha melanggengkan hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis setiap kekuatan politik muslim yang berpotensi akan mengganggu hegemoni mereka itu. Dan dalam operasinya mereka akan berkolaborasi dengan kelompok pertama dan kedua tadi.
 10.  Bagaimana HT menghadapi itu semua?
HT menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. HT tidak takut menghadapi semua itu. HT memahami semua itu sebagai salah satu tantangan, hambatan dan rintangan dalam dakwah. Bila karena belum atau salah paham, HT akan datang memahamkannya. Bila itu fitnah, HT akan menjernikah fitnah itu. Dan dalam menghadapi semua tantangan itu, HT yakin sekali akan pertolongan Allah SWT yang pasti akan diberikan kepada para pejuang agamaNya. (Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia)

Sabtu, 01 September 2012

HanCurnya Islam

sejarah turkey otoman
trbidi="on">